Minggu, 30 September 2012

BERITA PERS RASIONALITAS PUTUSAN NOMOR 46/PUU-VIII/2010 TANGGAL 17 FEBRUARI 2012 TENTANG ANAK YANG LAHIR DI LUAR PERKAWINAN


BERITA PERS
RASIONALITAS PUTUSAN NOMOR 46/PUU-VIII/2010
TANGGAL 17 FEBRUARI 2012
TENTANG ANAK YANG LAHIR DI LUAR PERKAWINAN
(Hasil Rapat Permusyawaratan Hakim pada Senin 13 Februari 2012)[1]


Untuk menanggapi berbagai pandangan dari beberapa pihak atas putusan MK No. 46/PUU-VIII/2010 terkait pengujian Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagaimana dimohonkan oleh Aisyah Mochtar alias Machica Mochtar, Mahkamah merasa perlu untuk memberikan beberapa penegasan dan penjelasan terkait tiga hal. Pertama, perspektif alamiah dan konstitusionalitasnya. Kedua, makna hukum (legal meaning) putusan mahkamah konstitusi. Dan ketiga, perspektif UU perkawinan. Adapun penjabarannya adalah sebagai berikut:
PERSPEKTIF ALAMIAH DAN KONSTITUSIONALITAS
  • Setiap kelahiran, secara alamiah, pasti didahului oleh adanya kehamilan seorang perempuan sebagai akibat terjadinya pembuahan (pertemuan ovum dengan spermatozoa) melalui hubungan seksual dengan seorang laki-laki atau melalui rekayasa teknologi;
  • Seorang laki-laki dan seorang perempuan yang menyebabkan terjadinya kelahiran anak tersebut harus bertanggungjawab "... atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi" [vide Pasal 28B ayat (2) UUD 1945];
  • Peraturan perundang-undangan merupakan instrumen perlindungan normatif negara kepada warga negara dalam rangka mewujudkan keadilan dan kesejahteraan di dalam masyarakat [vide Pembukaan UUD 1945 alinea ke-4 dan Pasal 28I ayat (5) UUD 1945]. Oleh karena itu, peraturan perundang-undangan tidak boleh meniadakan tanggung jawab seorang laki-laki dan seorang perempuan yang menyebabkan lahirnya anak tersebut sebagai bapak dan ibunya. Tanggung jawab tersebut melekat pada keduanya (laki-laki dan perempuan), bukan hanya pada salah satunya;
  • Kesengajaan meniadakan tanggung jawab, khususnya dari laki-laki, merupakan pembenaran oleh negara atas ketidakadilan hukum terhadap anak dan sekaligus pembiaran terjadinya kesewenang-wenangan terhadap seorang perempuan yang harus bertanggung jawab sendiri terhadap kelangsungan hidup dan pendidikan anak dimaksud. Ketentuan yang selama ini berlaku, terhadap anak yang lahir di luar perkawinan, hanya memberikan hubungan perdata dan tanggung jawab kepada ibu dan keluarga ibu adalah sesuatu yang tidak adil. Ketentuan tersebut membebankan kesalahan dan tanggung jawab hanya kepada seorang perempuan sebagai ibu;
  • Setiap anak lahir dalam keadaan suci, tidak berdosa. Ia lahir bukan atas dasar kehendaknya. Terlebih lagi untuk dilahirkan dalam keadaan yang demikian. Merupakan ketidakadilan dan kesewenang-wenangan sosial manakala hukum memberikan stigma kepadanya sebagai "anak tanpa bapak" dan "anak tanpa ada yang bertanggung jawab bagi kelangsungan hidup dan bertumbuh-kembang secara wajar dalam masyarakat melalui pendidikan".
MAKNA HUKUM (LEGAL MEANING) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI
  • Putusan Mahkamah Konstitusi membuka kemungkinan hukum bagi ditemukannya subjek hukum yang harus bertanggung jawab terhadap anak dimaksud sebagai bapaknya melalui mekanisme hukum (judicial) dengan menggunakan pembuktian berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi mutakhir dan/atau hukum, dalam rangka meniadakan ketidakpastian dan ketidakadilan hukum di dalam masyarakat;
  • Putusan ini tidak berkait dengan sah atau tidak sahnya perkawinan, tetapi hanya untuk memberikan perlindungan keperdataan kepada anak. Putusan ini juga tidak melegalkan adanya perzinaan;
  • Harus dipahami bahwa antara memberikan perlindungan terhadap anak dan persoalan perzinaan merupakan dua rezim hukum yang berbeda.
PERSPEKTIF UU PERKAWINAN
  • UU Perkawinan memiliki karakter khas, dalam pengertian formal merupakan hukum yang bersifat unifikasi, sehingga terdapat norma hukum yang berlaku untuk seluruh warga negara, namun dalam pengertian materielnya merupakan hukum yang bersifat majemuk (plural), sehingga normanya diserahkan kepada agama masing-masing. Norma kuncinya terdapat pada Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan yang pada pokoknya menyatakan bahwa norma sahnya perkawinan adalah "menurut agama" yang dipeluk oleh masing-masing pasangan. Dengan demikian, terhadap akibat hukum tertentu yang terkait dengan perkawinan berlaku hukum agama masing-masing sesuai dengan perkembangan masyarakat.



[1] http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=website.Berita.Berita&id=6588 Rabu, 07 Maret 2012 | 13:20 WIB, di lihat 28 agustus 2012 jam 13:45

Tidak ada komentar:

Posting Komentar