Minggu, 30 September 2012

BERITA PERS RASIONALITAS PUTUSAN NOMOR 46/PUU-VIII/2010 TANGGAL 17 FEBRUARI 2012 TENTANG ANAK YANG LAHIR DI LUAR PERKAWINAN


BERITA PERS
RASIONALITAS PUTUSAN NOMOR 46/PUU-VIII/2010
TANGGAL 17 FEBRUARI 2012
TENTANG ANAK YANG LAHIR DI LUAR PERKAWINAN
(Hasil Rapat Permusyawaratan Hakim pada Senin 13 Februari 2012)[1]


Untuk menanggapi berbagai pandangan dari beberapa pihak atas putusan MK No. 46/PUU-VIII/2010 terkait pengujian Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagaimana dimohonkan oleh Aisyah Mochtar alias Machica Mochtar, Mahkamah merasa perlu untuk memberikan beberapa penegasan dan penjelasan terkait tiga hal. Pertama, perspektif alamiah dan konstitusionalitasnya. Kedua, makna hukum (legal meaning) putusan mahkamah konstitusi. Dan ketiga, perspektif UU perkawinan. Adapun penjabarannya adalah sebagai berikut:
PERSPEKTIF ALAMIAH DAN KONSTITUSIONALITAS
  • Setiap kelahiran, secara alamiah, pasti didahului oleh adanya kehamilan seorang perempuan sebagai akibat terjadinya pembuahan (pertemuan ovum dengan spermatozoa) melalui hubungan seksual dengan seorang laki-laki atau melalui rekayasa teknologi;
  • Seorang laki-laki dan seorang perempuan yang menyebabkan terjadinya kelahiran anak tersebut harus bertanggungjawab "... atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi" [vide Pasal 28B ayat (2) UUD 1945];
  • Peraturan perundang-undangan merupakan instrumen perlindungan normatif negara kepada warga negara dalam rangka mewujudkan keadilan dan kesejahteraan di dalam masyarakat [vide Pembukaan UUD 1945 alinea ke-4 dan Pasal 28I ayat (5) UUD 1945]. Oleh karena itu, peraturan perundang-undangan tidak boleh meniadakan tanggung jawab seorang laki-laki dan seorang perempuan yang menyebabkan lahirnya anak tersebut sebagai bapak dan ibunya. Tanggung jawab tersebut melekat pada keduanya (laki-laki dan perempuan), bukan hanya pada salah satunya;
  • Kesengajaan meniadakan tanggung jawab, khususnya dari laki-laki, merupakan pembenaran oleh negara atas ketidakadilan hukum terhadap anak dan sekaligus pembiaran terjadinya kesewenang-wenangan terhadap seorang perempuan yang harus bertanggung jawab sendiri terhadap kelangsungan hidup dan pendidikan anak dimaksud. Ketentuan yang selama ini berlaku, terhadap anak yang lahir di luar perkawinan, hanya memberikan hubungan perdata dan tanggung jawab kepada ibu dan keluarga ibu adalah sesuatu yang tidak adil. Ketentuan tersebut membebankan kesalahan dan tanggung jawab hanya kepada seorang perempuan sebagai ibu;
  • Setiap anak lahir dalam keadaan suci, tidak berdosa. Ia lahir bukan atas dasar kehendaknya. Terlebih lagi untuk dilahirkan dalam keadaan yang demikian. Merupakan ketidakadilan dan kesewenang-wenangan sosial manakala hukum memberikan stigma kepadanya sebagai "anak tanpa bapak" dan "anak tanpa ada yang bertanggung jawab bagi kelangsungan hidup dan bertumbuh-kembang secara wajar dalam masyarakat melalui pendidikan".
MAKNA HUKUM (LEGAL MEANING) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI
  • Putusan Mahkamah Konstitusi membuka kemungkinan hukum bagi ditemukannya subjek hukum yang harus bertanggung jawab terhadap anak dimaksud sebagai bapaknya melalui mekanisme hukum (judicial) dengan menggunakan pembuktian berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi mutakhir dan/atau hukum, dalam rangka meniadakan ketidakpastian dan ketidakadilan hukum di dalam masyarakat;
  • Putusan ini tidak berkait dengan sah atau tidak sahnya perkawinan, tetapi hanya untuk memberikan perlindungan keperdataan kepada anak. Putusan ini juga tidak melegalkan adanya perzinaan;
  • Harus dipahami bahwa antara memberikan perlindungan terhadap anak dan persoalan perzinaan merupakan dua rezim hukum yang berbeda.
PERSPEKTIF UU PERKAWINAN
  • UU Perkawinan memiliki karakter khas, dalam pengertian formal merupakan hukum yang bersifat unifikasi, sehingga terdapat norma hukum yang berlaku untuk seluruh warga negara, namun dalam pengertian materielnya merupakan hukum yang bersifat majemuk (plural), sehingga normanya diserahkan kepada agama masing-masing. Norma kuncinya terdapat pada Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan yang pada pokoknya menyatakan bahwa norma sahnya perkawinan adalah "menurut agama" yang dipeluk oleh masing-masing pasangan. Dengan demikian, terhadap akibat hukum tertentu yang terkait dengan perkawinan berlaku hukum agama masing-masing sesuai dengan perkembangan masyarakat.



[1] http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=website.Berita.Berita&id=6588 Rabu, 07 Maret 2012 | 13:20 WIB, di lihat 28 agustus 2012 jam 13:45

FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA Nomor: 11 Tahun 2012 Tentang KEDUDUKAN ANAK HASIL ZINA DAN PERLAKUAN TERHADAPNYA


FATWA
MAJELIS ULAMA INDONESIA
Nomor: 11 Tahun 2012
Tentang
KEDUDUKAN ANAK HASIL ZINA DAN PERLAKUAN TERHADAPNYA
Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), setelah :
MENIMBANG :
a.       bahwa dalam Islam, anak terlahir dalam kondisi suci dan tidak membawa dosa turunan, sekalipun ia terlahir sebagai hasil zina;
b.      bahwa dalam realitas di masyarakat, anak hasil zina seringkali terlantar karena laki-laki yang menyebabkan kelahirannya tidak bertanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan dasarnya, serta seringkali anak dianggap sebagai anak haram dan terdiskriminasi karena dalam akte kelahiran hanya dinisbatkan kepada ibu.
c.       bahwa terhadap masalah tersebut, Mahkamah Konsitusi dengan pertimbangan memberikan perlindungan kepada anak dan memberikan hukuman atas laki-laki yang menyebabkan kelahirannya untuk bertanggung jawab, menetapkan putusan MK Nomor 46/PUU-VIII/2010 yang pada intinya mengatur kedudukan anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya.
d.      bahwa terhadap putusan tersebut, muncul pertanyaan dari masyarakat mengenai kedudukan anak hasil zina, terutama terkait dengan hubungan nasab, waris, dan wali nikah dari anak hasil zina dengan laki-laki yang menyebabkan kelahirannya menurut hukum Islam.
e.       bahwa oleh karena itu dipandang perlu menetapkan fatwa tentang kedudukan anak hasil zina dan perlakuan terhadapnya guna dijadikan pedoman.
MENGINGAT :
1.      Firman Allah SWT
a.       Firman Allah yang mengatur nasab, antara lain :
“Dan Dia (pula) yang menciptakan manusia dari air lalu dia jadikan manusia itu (punya) keturunan dan mushaharah dan adalah Tuhanmu Maha Kuasa. (QS. Al-Furqan : 54).
b.      Firman Allah yang melarang perbuatan zina dan seluruh hal yang mendekatkan ke zina, antara lain:
“Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk “ (QS. Al-Isra : 32).
“Dan orang-orang yang tidak menyembah tuhan yang lain beserta Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina, barang siapa yang melakukan yang demikian itu, niscaya dia mendapat (pembalasan) dosanya, yakni akan dilipat gandakan azab untuknya pada hari kiamat dan dia akan kekal dalam azab itu, dalam keadaan terhina” (QS. Al-Furqan: 68 – 69)
c.       Firman Allah yang menjelaskan tentang pentingnya kejelasan nasab dan asal usul kekerabatan, antara lain:
“Dan Dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri). Yang demikian itu hanyalah perkataanmu dimulutmu saja. Dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan (yang benar).
Panggilah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka; itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka (panggilah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu. (QS. Al-Ahzab: 4 – 5).
“…. (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu) “ (QS. Al-Nisa: 23).
d.      Firman Allah yang menegaskan bahwa seseorang itu tidak memikul dosa orang lain, demikian juga anak hasil zina tidak memikul dosa pezina, sebagaimana firman-Nya:
Dan tidaklah seorang membuat dosa melainkan kemudharatannya kembali kepada dirinya sendiri; dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain526. Kemudian kepada Tuhanmulah kamu kembali, dan akan diberitakan-Nya kepadamu apa yang kamu perselisihkan. (QS. Al-An’am : 164)
“Dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. Kemudian kepada Tuhanmulah kembalimu lalu Dia memberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan. Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui apa yang tersimpan dalam (dada)mu. (QS. Al-Zumar: 7)
2.      Hadis Rasulullah SAW, antara lain:
a.       hadis yang menerangkan bahwa anak itu dinasabkan kepada pemilik kasur/suami dari perempuan yang melahirkan (firasy), sementara pezina harus diberi hukuman, antara lain:
Dari ‘Aisyah ra bahwasanya ia berkata: Sa’d ibn Abi Waqqash dan Abd ibn Zam’ah berebut terhadap seorang anak lantas Sa’d berkata: Wahai Rasulallah, anak ini adalah anak saudara saya ‘Utbah ibn Abi Waqqash dia sampaikan ke saya bahwasanya ia adalah anaknya, lihatlah kemiripannya. ‘Abd ibn Zum’ah juga berkata: “Anak ini saudaraku wahai Rasulullah, ia terlahir dari pemilik kasur (firasy) ayahku dari ibunya. Lantas Rasulullah saw melihat rupa anak tersebut dan beliau melihat keserupaan yang jelas dengan ‘Utbah, lalu Rasul bersabda: “Anak ini saudaramu wahai ‘Abd ibn Zum’ah. Anak itu adalah bagi pemilik kasur/suami dari perempuan yang melahirkan (firasy) dan bagi pezina adalah (dihukum) batu, dan berhijablah darinya wahai Saudah Binti Zam’ah. Aisyah berkata: ia tidak pernah melihat Saudah sama sekali. (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
“Dari ‘Amr ibn Syu’aib ra dari ayahnya dari kakeknya ia berkata: seseorang berkata: Ya rasulallah, sesungguhnya si fulan itu anak saya, saya menzinai ibunya ketika masih masa jahiliyyah, rasulullah saw pun bersabda: “tidak ada pengakuan anak dalam Islam, telah lewat urusan di masa jahiliyyah. Anak itu adalah bagi pemilik kasur/suami dari perempuan yang melahirkan (firasy) dan bagi pezina adalah batu (dihukum)” (HR. Abu Dawud)
b.      hadis yang menerangkan bahwa anak hazil zina dinasabkan kepada ibunya, antara lain:
Nabi saw bersabda tentang anak hasil zina: “Bagi keluarga ibunya …” (HR. Abu Dawud)
c.       hadis yang menerangkan tidak adanya hubungan kewarisan antara anak hasil zina dengan lelaki yang mengakibatkan kelahirannya, antara lain:
“Dari ‘Amr ibn Syu’aib ra dari ayahnya dari kakeknya bahwa rasulullah saw bersabda: Setiap orang yang menzinai perempuan baik merdeka maupun budak, maka anaknya adalah anak hasil zina, tidak mewarisi dan tidak mewariskan“. (HR. Al-Turmudzi)
d.      hadis yang menerangkan larangan berzina, antara lain:
Dari Abi Marzuq ra ia berkata: Kami bersama Ruwaifi’ ibn Tsabit berperang di Jarbah, sebuah desa di daerah Maghrib, lantas ia berpidato: “Wahai manusia, saya sampaikan apa yang saya dengar dari rasulullah saw pada saat perang Hunain seraya berliau bersabda: “Tidak halal bagi seseorang yang beriman kepada Allah dan rasul-Nya menyirampan air (mani)nya ke tanaman orang lain (berzina)’ (HR Ahmad dan Abu Dawud)
e.       hadis yang menerangkan bahwa anak terlahir di dunia itu dalam keadaan fitrah, tanpa dosa, antara lain:
Dari Abi Hurairah ra ia berkata: Nabi saw bersabda: “Setiap anak terlahir dalam kondisi fitrah, kedua orang tuanyalah yang menjadikannya seorang yahudi, nasrani, atau majusi. (HR al-Bukhari dan Muslim).
3.      Ijma’ Ulama, sebagaimana disampaikan oleh Imam Ibn Abdil Barr dalam “al-Tamhid” (8/183) apabila ada seseorang berzina dengan perempuan yang memiliki suami, kemudian melahirkan anak, maka anak tidak dinasabkan kepada lelaki yang menzinainya, melainkan kepada suami dari ibunya tersebut, dengan ketentuan ia tidak menafikan anak tersebut.
Umat telah ijma’ (bersepakat) tentang hal itu dengan dasar hadis nabi saw, dan rasul saw menetapkan setiap anak yang terlahir dari ibu, dan ada suaminya, dinasabkan kepada ayahnya (suami ibunya), kecuali ia menafikan anak tersebut dengan li’an, maka hukumnya hukum li’an. Juga disampaikan oleh Imam Ibnu Qudamah dalam Kitab al-Mughni (9/123) sebagai berikut:
Para Ulama bersepakat (ijma’) atas anak yang lahir dari ibu, dan ada suaminya, kemudian orang lain mengaku (menjadi ayahnya), maka tidak dinasabkan kepadanya.
  1. Atsar Shahabat, Khalifah ‘Umar ibn al-Khattab ra berwasiat untuk senantiasa memperlakukan anak hasil zina dengan baik, sebagaimana ditulis oleh Imam al-Shan’ani dalam “al-Mushannaf” Bab ‘Itq walad al-zina” hadits nomor 13871.
  2. Qaidah Sadd al-Dzari’ah, dengan menutup peluang sekecil apapun terjadinya zina serta akibat hukumnya.
  3. Qaidah ushuliyyah :
    “Pada dasarnya, di dalam larangan tentang sesuatu menuntut adanya rusaknya perbuatan yang terlarang tersebut”
“Tidak ada ijtihad di hadapan nash”.
  1. Qaidah fiqhiyyah :
“ Hukum sarana adalah mengikuti hukum capaian yang akan dituju “
“Segala mudharat (bahaya) harus dihindarkan sedapat mungkin”.
“Bahaya itu tidak boleh dihilangkan dengan mendatangkan bahaya yang lain.”
“Menghindarkan mafsadat didahulukan atas mendatangkan maslahat.
“Dharar yang bersifat khusus harus ditanggung untuk menghindarkan dharar yang bersifat umum (lebih luas).”
“Apabila terdapat dua kerusakan atau bahaya yang saling bertentangan, maka kerusakan atau bahaya yang lebih besar dihindari dengan jalan melakukan perbuatan yang resiko bahayanya lebih kecil.”
“Kebijakan imam (pemerintah) terhadap rakyatnya didasarkan pada kemaslahatan.”
MEMPERHATIKAN :
1.      Pendapat Jumhur Madzhab Fikih Hanafiyyah, Malikiyyah, Syafi’iyyah, dan Hanabilah yang menyatakan bahwa prinsip penetapan nasab adalah karena adanya hubungan pernikahan yang sah. Selain karena pernikahan yang sah, maka tidak ada akibat hukum hubungan nasab, dan dengan demikian anak zina dinasabkan kepada ibunya, tidak dinasabkan pada lelaki yang menzinai, sebagaimana termaktub dalam beberapa kutipan berikut:
  1. Ibn Hajar al-‘Asqalani:
Diriwayatkan dari Imam Syafe’i dua pengertian tentang makna dari hadist “ Anak itu menjadi hak pemillik kasur/suami “ .
Ø  Pertama : Anak menjadi hak pemilik kasur/suami selama ia tidak menafikan/mengingkarinya. Apabila pemilik kasur/suami menafikan anak tersebut (tidak mengakuinya) dengan prosedur yang diakui keabsahannya dalam syariah, seperti melakukan Li’an, maka anak tersebut dinyatakan bukan sebagai anaknya.
Ø  Kedua : Apabila bersengketa (terkait kepemilikan anak) antara pemilik kasur/suami dengan laki-laki yang menzinai istri/budak wanitanya, maka anak tersebut menjadi hak pemilik kasur/suami.
Adapun maksud dari “ Bagi Pezina adalah Batu “ bahwa laki-laki pezina itu keterhalangan dan keputus-asaan. Maksud dari kata Al-‘AHAR dengan menggunakan dua fathah (pada huruf ‘ain dan ha’) adalah zina. Ada yang berpendapat bahwa kata tersebut digunakan untuk perzinaan yang dilakukan pada malam hari.
Oleh karenanya, makna dari keptus-asaan disini adalah bahwa laki-laki pezina tersebut tidak mendapatkan hak nasab atas anak yang dilahirkan dari perzinaannya. Pemilihan kata keputus-asaan di sini sesuai dengan tradisi bangsa arab yang menyatakan “Baginya ada batu” atau : Di mulutnya ada batu” buat orang yang telah berputus asa dari harapan.
Ada yang berpendapat bahwa pengertian dari batu di sini adalah hukuman rajam. Imam Nawawi menyatakan bahwa pendapat tersebut adalah lemah, karena hukuman rajam hanya diperuntukkan buat pezina yang mukhsan (sudah menikah). Di sisi yang lain, hadist ini tidak dimaksudkan untuk menjelaskan hokum rajam, tapi dimaksudkan untuk sekedar menafikan hak anak atas pezina tersebut. Oleh karena itu Imam Subki menyatakan bahwa pendapat yang pertama itu lebih sesuai dengan redaksi hadist tersebut, karena dapat menyatakan secara umum bahwa keputus-asaan (dari mendapatkan hak anak) mencakup seluruh kelompok pezina (mukhsan atau bukan mukhsan).
  1. Pendapat Imam al-Sayyid al-Bakry dalam kitab “I’anatu al-Thalibin” juz 2 halaman 128 sebagai berikut: Anak zina itu tidak dinasabkan kepada ayah, ia hanya dinasabkan kepada ibunya.
  2. Pendapat Imam Ibn Hazm dalam Kitab al-Muhalla juz 10 halaman 323 sebagai berikut :
Anak itu dinasabkan kepada ibunya jika ibunya berzina dan kemudian mengandungnya, dan tidak dinasabkan kepada lelaki.
  1. Pendapat Imam Ibnu Nujaim dalam kitab “al-Bahr al-Raiq Syarh Kanz ad-Daqaiq”:
Anak hasil zina atau li’an hanya mendapatkan hak waris dari pihak ibu saja, karena nasabnya dari pihak bapak telah terputus, maka ia tidak mendapatkan hak waris dari pihak bapak, sementara kejelasan nasabnya hanya melalui pihak ibu, maka ia memiliki hak waris dari pihak ibu, saudara perempuan seibu dengan fardh saja (bagian tertentu), demikian pula dengan ibu dan saudara perempuannya yang seibu, ia mendapatkan bagian fardh (tertentu), tidak dengan jalan lain.
  1. Pendapat Imam Ibn ‘Abidin dalam Kitab “Radd al-Muhtar ‘ala al-Durr al-Mukhtar” (Hasyiyah Ibn ‘Abidin) sebagai berikut :
Anak hasil zina atau li’an hanya mendapatkan hak waris dari pihak ibu saja, sebagaimana telah kami jelaskan di bab yang menjelaskan tentang Ashabah, karena anak hasil zina tidaklah memiliki bapak.
  1. Pendapat Ibnu Taymiyah dalam kitab “al-Fatawa al-Kubra” :
            Para ulama berbeda pendapat terkait istilkhaq (penisbatan) anak hasil zina apabila si wanita tidak memiki pemilik kasur/suami atau sayyid (bagi budak wanita). Diriwatkan dalam hadist bahwa Rasulullah SAW menisbatkan anak budak wanita Zam’ah ibn Aswad kepadanya (Zam’ah), padahal yang menghamili budak wanita tersebut adalah Uthbah ibn Abi Waqqosh.
            Sementara itu, Sa’ad menyatakan : anak dari budak wanita tersebut adalah anak saudaraku (Uthbah), dan aku (kata sa’ad) ditugaskan untuk merawatnya seperti anakku sendiri”. Abd ibn Zam’ah membantah dengan berkata : “anak itu adalah saudaraku dan anak dari budak wanita ayahku, ia dilahirkan di atas ranjang ayahku”. Rasulullah SAW bersabda: “anak itu menjadi milikmu wahai Abd ibn Zam’ah, anak itu menjadi hak pemilik kasur dan bagi pezina adalah batu”, kemudian Rasulullah bersabda : “Berhijablah engkau wahai Saudah (Saudah binti Zam’ah – Istri Rasulullah SAW)”, karena beliau melihat kemiripan anak tersebut dengan Utbah, maka beliau menjadikan anak tersebut saudara Saudah binti Zam’ah dalam hal hak waris, dan tidak menjadikannya sebagai mahram.

  1. Pendapat Dr. Wahbah al-Zuhaili dengan judul “Ahkam al-Aulad al-Natijin ‘an al-Zina” yang disampaikan pada Daurah ke-20 Majma’ Fiqh Islami di Makkah pada 25 – 29 Desember 2010 yang pada intinya menerangkan bahwa, jika ada seseorang laki-laki berzina dengan perempuan yang memiliki suami dan kemudian melahirkan anak, terdapat ijma ulama, sebagaimana disampaikan oleh Imam Ibn Abdil Barr dalam “al-Tamhid” (8/183) yang menegaskan bahwa anak tersebut tidak dinasabkan kepada lelaki yang menzinainya, melainkan kepada suami dari ibunya tersebut, dengan ketentuan ia tidak menafikan anak tersebut melalui li’an. Sementara, jika ia berzina dengan perempuan yang tidak sedang terikat pernikahan dan melahirkan seorang anak, maka menurut jumhur ulama madzhab delapan, anak tersebut hanya dinasabkan ke ibunya sekalipun ada pengakuan dari laki-laki yang menzinainya. Hal ini karena penasaban anak kepada lelaki yang pezina akan mendorong terbukanya pintu zina, padahal kita diperintahkan untuk menutup pintu yang mengantarkan pada keharaman (sadd al-dzari’ah) dalam rangka menjaga kesucian nasab dari perlikau munkarat.

  1. Pendapat, saran, dan masukan yang berkembang dalam Sidang Komisi Fatwa pada Rapat-Rapat Komisi Fatwa pada tanggal 3, 8, dan 10 Maret 2011.
    Dengan bertawakkal kepada Allah SWT

MEMUTUSKAN

MENETAPKAN :
FATWA TENTANG ANAK HASIL ZINA DAN PERLAKUAN TERHADAPNYA
Ø  Pertama : Ketentuan Umum
Di dalam fatwa ini yang dimaksud dengan :
  1. Anak hasil zina adalah anak yang lahir sebagai akibat dari hubungan badan di luar pernikahan yang sah menurut ketentuan agama, dan merupakan jarimah (tindak pidana kejahatan).
  2. Hadd adalah jenis hukuman atas tindak pidana yang bentuk dan kadarnya telah ditetapkan oleh nash.
  3. Ta’zir adalah jenis hukuman atas tindak pidana yang bentuk dan kadarnya diserahkan kepada ulil amri (pihak yang berwenang menetapkan hukuman).
  4. Wasiat wajibah adalah kebijakan ulil amri (penguasa) yang mengharuskan laki-laki yang mengakibatkan lahirnya anak zina untuk berwasiat memberikan harta kepada anak hasil zina sepeninggalnya.
Ø Kedua : Ketentuan Hukum
  1. Anak hasil zina tidak mempunyai hubungan nasab, wali nikah, waris, dan nafaqah dengan lelaki yang menyebabkan kelahirannya.
  2. Anak hasil zina hanya mempunyai hubungan nasab, waris, dan nafaqah dengan ibunya dan keluarga ibunya.
  3. Anak hasil zina tidak menanggung dosa perzinaan yang dilakukan oleh orang yang mengakibatkan kelahirannya.
  4. Pezina dikenakan hukuman hadd oleh pihak yang berwenang, untuk kepentingan menjaga keturunan yang sah (hifzh al-nasl).
  5. Pemerintah berwenang menjatuhkan hukuman ta’zir lelaki pezina yang mengakibatkan lahirnya anak dengan mewajibkannya untuk :
a.       mencukupi kebutuhan hidup anak tersebut;
b.      memberikan harta setelah ia meninggal melalui wasiat wajibah.
  1. Hukuman sebagaimana dimaksud nomor 5 bertujuan melindungi anak, bukan untuk mensahkan hubungan nasab antara anak tersebut dengan lelaki yang mengakibatkan kelahirannya.
Ø Ketiga : Rekomendasi
  1. DPR-RI dan Pemerintah diminta untuk segera menyusun peraturan perundang-undangan yang mengatur:
a.       hukuman berat terhadap pelaku perzinaan yang dapat berfungsi sebagai zawajir dan mawani’ (membuat pelaku menjadi jera dan orang yang belum melakukan menjadi takut untuk melakukannya);
b.      memasukkan zina sebagai delik umum, bukan delik aduan karena zina merupakan kejahatan yang menodai martabat luhur manusia.
  1. Pemerintah wajib mencegah terjadinya perzinaan disertai dengan penegakan hukum yang keras dan tegas.
  2. Pemerintah wajib melindungi anak hasil zina dan mencegah terjadinya penelantaran, terutama dengan memberikan hukuman kepada laki-laki yang menyebabkan kelahirannya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
  3. Pemerintah diminta untuk memberikan kemudahan layanan akte kelahiran kepada anak hasil zina, tetapi tidak menasabkannya kepada lelaki yang menngakibatkan kelahirannya.
  4. Pemerintah wajib mengedukasi masyarakat untuk tidak mendiskriminasi anak hasil zina dengan memperlakukannya sebagaimana anak yang lain.
Penetapan nasab anak hasil zina kepada ibu dimaksudkan untuk melindungi nasab anak dan ketentuan keagamaan lain yang terkait, bukan sebagai bentuk diskriminasi.

Ø  Keempat : Ketentuan Penutup
  1. Fatwa ini berlaku pada tanggal ditetapkan, dengan ketentuan jika di ke mudian hari ternyata dibutuhkan perbaikan, akan diperbaiki dan disempurnakan sebagaimana mestinya.
  2. Agar setiap muslim dan pihak-pihak yang memerlukan dapat mengetahuinya, menghimbau semua pihak untuk menyebarluaskan fatwa ini.

Ditetapkan di : Jakarta
Pada tanggal : 18 Rabi’ul Akhir 1433 H
10 M a r e t 2012M
MAJELIS ULAMA INDONESIA
KOMISI FATWA

Ketua                                                                          Sekretaris

PROF. DR. H. HASANUDDIN AF, MA                 DR. HM. ASRORUN NI’AM SHOLEH, MA