SEJARAH ILMU FALAK
1.
Sejarah Dunia
Merujuk pada penemu
pertama ilmu falak atau astronomi yakni Nabi Idris[1]
sebagaimana disebutkan dalam setiap mukadimah kitab-kitab falak, nampak bahwa wacana ilmu falak sudah ada
sejak waktu itu, atau bahkan lebih awal dari itu. Ini kiranya maklum, karena
suatu temuan baru biasanya merupakan suatu respon atau tanggapan dari sebuah
persoalan yang muncul dari masyarakat.
Sehingga kemunculan ilmu falak dalam telusuran historis, kiranya dapat
diyakinkan kalau muncul sebelum temuan ilmu falak itu sendiri. Walaupun
demikian, penulis belum dapat melacak benang merahnya dalam upaya menyambungkan historisitas pada masa sesudahnya.
Dalam lacakan
penulis, baru sekitar abad ke-28 sebelum masehi, embrio ilmu falak mulai
nampak. Ia digunakan untuk menentukan waktu bagi saat-saat penyembahan berhala.
Keadaan seperti ini sudah nampak di beberapa negara seperti di Mesir untuk
menyembah Dewa Orisis, Isis dan Amon, di Babilonia dan Mesopotamia untuk
menyembah dewa Astoroth dan Baal.[2]
Pada abad XX sebelum
masehi, di negeri Tionghoa telah ditemukan alat untuk mengetahui gerak matahari
dan benda-benda langit lainnya dan mereka pula yang mula-mula dapat menentukan
terjadinya gerhana matahari. [3]
Kemudian berlanjut
pada asumsi Phytagoras (580-500 SM)
bahwa bumi berbentuk bulat bola, yang dilanjutkan Heraklitus dari Pontus
(388-315 SM) yang mengemukakan bahwa bumi berputar pada sumbunya, mercurius dan
venus mengelilingi matahari dan matahari mengelilingi bumi.[4]
Kemudian temuan tersebut dipertajam dengan penelitan Aristarchus dari Samos
(310-230 SM) tentang hasil
pengukuran jarak antara bumi dan matahari, dan pernyataannya bumi beredar
mengelilingi matahari. Lalu Eratosthenes dari Mesir (276-196 SM) juga sudah
dapat menghitung keliling bumi.[5]
Penulis menduga
bahwa sejak sebelum masehi sudah nampak
adanya persoalan ilmu falak, walaupun dalam kemasan yang berbeda. Kemudian di
masa sesudah masehi ditandai dengan temuan Claudius Ptalomeus (140 M)
berupa catatan-catatan tentang bintang-bintang
yang diberi nama “Tabril Magesthi”. Berasumsi bahwa bentuk
semesta alam adalah geosentris, yakni pusat alam terletak pada bumi yang tidak
berputar pada sumbunya dan dikelililingi oleh bulan, mercurius, venus,
matahari, mars, jupiter, dan saturnus. Asumsi tersebut dalam dunia astronomi
disebut teori Geosentris.[6]
Selanjutnya di masa
Islam (masa Rasulullah) kemunculan ilmu falak memang belum masyhur di kalangan
umat Islam, sebagaimana terekam dalam hadits Nabi : “inna ummatun umiyyatun
la naktubu wala nahsibu”.[7] Walaupun
sebenarnya ada juga di antara mereka yang mahir dalam perhitungan. Sehingga
realitas persoalan ilmu Falak pada masa itu tentunya sudah ada walaupun dari
sisi hisabnya tidak begitu masyhur. Sebenarnya perhitungan tahun Hijriyah pernah digunakan sendiri
oleh Nabi Muhammad ketika beliau menulis surat kepada kaum Nasrani bani
Najran, tertulis ke V Hijriyah, namun di dunia Arab lebih mengenal
peristiwa-peristiwa yang terjadi sehingga ada istilah tahun gajah, tahun izin,
tahun amar dan tahun zilzal.[8]
Namun secara formal,
wacana ilmu falak di masa ini baru nampak dari adanya penetapan hijrah Nabi
dari Makkah ke Madinah sebagai pondasi dasar kalender Hijriyah yang dilakukan
oleh sahabat Umar bin Khattab, tepatnya pada tahun ke tujuh belas Hijriyah[9].
Dengan berbagai pertimbangan, akhirnya bulan Muharram ditetapkan sebagai awal
bulan Hijriyah.[10]
Dalam sejarah, kalau
kita tilik secara jeli ternyata di dunia astronomi khususnya, dan ilmu
pengetahuan pada umumnya, selama hampir delapan abad tidak nampak adanya masa
keemasan. Baru di masa Daulah Abbasiyah, masa kejayaan itu nampak. Sebagaimana
di masa khalifah Abu Ja’far al-Manshur, ilmu astronomi mendapat perhatian
khusus, seperti upaya menterjemahkan kitab Sindihind dari India.[11]
Kemudian di masa
khalifah al-Makmun, naskah “Tabril Magesthy” diterjemahkan dalam bahasa
Arab oleh Hunain bin Ishak. Dari sinilah lahir istilah ilmu falak sebagai salah
satu dari cabang ilmu keislaman dan tumbuhnya ilmu hisab tentang penentuan awal
waktu shalat, penentuan gerhana, awal bulan qomariyah dan penentuan arah
kiblat.[12]
Tokoh yang hidup di
masa ini adalah Sultan Ulugh Beik, Abu Raihan, Ibnu Syatir dan Abu Manshur
al-Balkhiy.[13]
Observatorium didirikan al-Makmun di Sinyar dan Junde Shahfur Bagdad, dengan
meninggalkan teori Yunani kuno dan membuat teori sendiri dalam menghitung
kulminasi matahari. Juga menghasilkan data-data yang berpedoman pada buku
Shindihind yang disebut “Tables of Makmun” dan oleh orang Eropa dikenal
dengan “Astronomos” atau “Astronomy”.[14]
Masa kejayaan itu
juga ditandai dengan adanya al-Farghani seorang ahli falak, yang oleh orang
Barat dipanggil Farganus, buku-bukunya diterjemahkan oleh orang Latin dengan nama
“Compendium” yang dipakai
pegangan dalam mempelajari ilmu perbintangan oleh astronom-astronom Barat
seperti Regiomontanus.[15] Kemudian
Maslamah Ibnu al-Marjiti di Andalusia telah merubah tahun Persi dengan tahun
Hijriyah dengan meletakkan bintang-bintang sesuai dengan awal tahun Hijriyah.[16]
Di samping juga ada pakar falak kenamaan lainnya seperti : Mirza Ulugh bin
Timurlank yang terkenal dengan Ephemerisnya, Ibnu Yunis (950-100 M), Nasiruddin
(1201-1274 M) dan Ulugh Beik (1344-1449 M) yang terkenal dengan landasan
ijtima’ dalam penentuan awal bulan Qamariyyah.[17]
Di Bashrah, Abu Ali
al-Hasan bin al-Haytam (965-1039 M) seorang pakar falak yang terkenal dengan
bukunya “Kitabul Manadhir” dan tahun 1572 diterjemahkan dengan nama “Optics”
yang merupakan temuan baru tentang refraksi (sinar bias). Tokoh-tokoh tersebut
sangat mempengaruhi dan memberikan kontribusi yang positif bagi perkembangan
ilmu falak di dunia Islam pada masanya masing-masing, meskipun masih terkesan
bernuansa Ptolomeus.[18]
Setelah umat Islam
menampakkan kemajuan dalam ilmu
pengetahuan, pada pertengahan abad XIII M terjadi ekspansi intelektualitas ke
Eropa melalui Spanyol. Sedangkan Eropa pada waktu itu tengah dilanda oleh
tumbuhnya isme-isme baru seperti Humanisme, Rasionalisme, dan Renaisance, sebagai
reaksi dari filsafat Scholastik di masa itu, dimana orang dilarang menggunakan
rasio atau berfaham kontradiksi dengan faham Gereja. Kemudian muncul Nicolas Copernicus[19]
(1473-1543) yang berupaya membongkar teori Geosentris yang dikembangkan oleh
Claudius Ptalomeus. Teori yang dikembangkan adalah bukan bumi yang dikelilingi
matahari, akan tetapi sebaliknya, serta planet-planet beserta satelit-satelit
yang mengelilingi matahari, yang kemudian dikenal dengan teori Heliosentris.
Perdebatan teori tersebut berkembang sampai abad XVIII, di mana penyelidikan
Galilleo Galilie dan John Kepler menyatakan pembenaran pada teori Heliosentris.
Walaupun John Kepler juga berbeda dengan Copernicus dalam hal lintasan planet
mengelilingi matahari, di mana menurut Copernicus berbentuk bulat sedangkan
menurut John Kepler berbentuk ellips
(bulat telur).[20]
Kemudian pada tahun-tahun berikutnya banyak ditemukan temuan-temuan seputar
kosmografi.[21]
Namun dalam wacana
historisitas ilmu falak, bahwa tokoh
yang pertama kali melakukan kritik tajam terhadap teori geosentris adalah
al-Biruni dengan asumsi tidak masuk akal karena langit yang begitu besar dan
luas dengan bintang-bintannya dinyatakan mengelilingi bumi sebagai pusat tata
surya.[22]
Dari temuan ini dapat diambil kesimpulan bahwa al-Birunilah peletak dasar teori
Heliosentris.
Fenomena di atas
menimbulkan perselisihan di kalangan
para peneliti modern tentang sejarah ilmu pengetahuan. Mereka berselisih
pendapat tentang orisinalitas kontribusi dan peranan orang-orang Islam.
Bertrand Russel, sebagaimana dikutip Nurcholis Madjid misalnya, cenderung
meremehkan tingkat orisinalitas kontribusi Islam di bidang filsafat, namun
tetap mengisyaratkan adanya tingkat orisinalitas yang tinggi di bidang
matematika[23],
termasuk di dalamnya astronomi.
Kembali pada temuan
Ulugh Beik (1344-1449) yang berupa jadwal Ulugh Beik, pada tahun 1650 M
diterjemahkan dalam bahasa Inggris oleh J. Greaves dan Thyde, dan oleh Saddilet
disalin dalam bahasa Prancis. Kemudian Simon New Comb (1835-1909 M)[24]
berhasil membuat jadwal astronomi baru ketika beliau berkantor di Nautical Al
Manac Amerika (1857-1861), sehingga jadwalnya sampai sekarang terkenal dengan
nama Almanac Nautica.
Kedua jadwal itulah
yang selama ini mewarnai tipologi ilmu falak di Indonesia. Dimana tipologi ilmu
falak klasik diwakili oleh kitab Sullamun Nayyirain sebagaimana diakui sendiri
oleh Mansur al-Batawi dalam kitabnya, bahwa jadwal yang dipakai adalah
bersumber pada data Ulugh Beik.[25]
Sedangkan tipologi hisab modern, sebagaimana yang berkembang dalam wacana ilmu
falak dan tehnik hisab, bahwa Almanac Nautica, diklasifikasikan dalam
tipologi hisab (hakiki) kontemporer.[26]
2. Sejarah Indonesia
Dalam lintasan
sejarah, selama pertengahan pertama abad ke dua puluh, peringkat kajian Islam
yang paling tinggi hanya dapat dicapai di Makkah, yang kemudian diganti di
Kairo.[27]
Sehingga kajian Islam termasuk kajian
ilmu falak tidak dapat lepas dari adanya “jaringan ulama” (meminjam
istilah Azyumardi Azra) Makkah (Jazirah Arab). Ini terbukti adanya “jaringan
ulama” yang dilakukan oleh ulama-ulama ilmu falak Indonesia. Seperti
Muhammad Manshur al-Batawi, ternyata dalam lacakan sejarah kitab monumentalnya Sullamun Nayyirain adalah
hasil dari “rihlah ilmiyyah” yang beliau lakukan selama di Jazirah Arab.[28]
Sehingga diakui atau tidak, pemikiran ilmu falak di Jazirah Arab seperti di
Mesir, sangat berpengaruh dalam pemikiran
ilmu falak di Indonesia. Begitu juga beberapa kitab ilmu falak yang
berkembang di Indonesia menurut Taufik[29],
banyak merupakan hasil cangkokan dari kitab karya ulama Mesir yakni al-Mathla’
al-Said ala Rasdi al-Jadid.[30]
Sehingga dalam perjalanan sejarah ilmu falak di Indonesia tidak bisa lepas dari
sejarah Islam di Indonesia yang memang merupakan hasil dari jaringan ulama.
Dalam pemetaan
sejarah Islam di Indonesia menurut Karel A. Steenbrink, terpilah menjadi dua
periode yang harus mendapat perhatian khusus, yakni periode masuknya Islam di
Indonesia dan periode zaman reformisme abad ke dua puluhan.[31]
Sejarah mencatat
bahwa sebelum kedatangan agama Islam di Indonesia telah tumbuh perhitungan
tahun yang ditempuh menurut kalender Jawa Hindu atau tahun Soko yang dimulai
pada hari Sabtu, 14 Maret 78 M yakni tahun penobatan Prabu Syaliwohono (Aji
Soko). Dan kalender inilah yang digunakan umat Budha di Bali guna mengatur
kehidupan masyarakat dan agama.[32]
Namun sejak tahun
1043 H / 1633 M yang bertepatan dengan
1555 tahun Soko, tahun Soko diasimilasikan dengan Hijriyah, kalau pada mulanya tahun Soko berdasarkan peredaran
matahari, oleh Sultan Agung diubah menjadi tahun Hijriyah yakni berdasarkan peredaran
bulan, sedangkan tahunnya tetap meneruskan tahun Soko tersebut.[33]
Sehingga jelas bahwa sejak zaman berkuasanya kerajaan-kerajaan Islam di
Indonesia, umat Islam sudah terlibat dalam pemikiran ilmu falak, hal ini ditandai
dengan adanya penggunaan kalender Hijriyah sebagai kalender resmi. Dan patut
dicatat dalam sejarah, bahwa prosesi tersebut berarti merupakan prosesi
penciptaan suatu masyarakat lama menjadi baru yakni masyarakat kehinduan dalam
masyarakat keislaman.
Setelah adanya
penjajahan Belanda di Indonesia terjadi pergeseran penggunaan kalender resmi
pemerintahan, semula kalender Hijriyah diubah menjadi kalender masehi (miladiyyah).
Meskipun demikian, umat Islam tetap menggunakan kalender Hijriyah, terutama daerah
kerajaan-kerajaan Islam. Tindakan ini tidak dilarang oleh pemerintah kolonial
bahkan penetapannya diserahkan kepada penguasa kerajaan-kerajaan Islam yang
masih ada, terutama penetapan terhadap hari-hari yang berkaitan dengan
persoalan ibadah, seperti 1 Ramadhan, 1 Syawal, dan 10 Dzulhijjah.[34]
Sehingga jelas bahwa
di samping adanya upaya membumikan kalender Hijriyah dengan adanya asimilasi,
sebagaimana telah penulis
kemukakan di atas bahwa jaringan ulama dalam ilmu falak memang benar-benar ada.
Prosesi tersebut nampak dengan adanya
perkembangan yang pesat, sejak abad pertengahan yang didasarkan
pada sistem serta tabel matahari dan
bulan yang disusun oleh astronom Sultan
Ulugh Beik Asmarakandi. Ilmu falak
ini berkembang dan tumbuh
subur terutama di pondok-pondok pesantren di Jawa dan Sumatera. Kitab-kitab
ilmu hisab yang dikembangkan para
ahli hisab di Indonesia
biasanya mabda’ (epoch) dan
markaznya disesuaikan dengan tempat tinggal pengarangnya. Seperti Nawawi
Mahammad Yunus al-Kadiri dengan karyanya “Risalatul Qamarain” dengan markaz Kediri.[35]
Walaupun ada juga yang tetap berpegang pada kitab asal (kitab induk) seperti al-Mathla’ul Said fi Hisabil Kawakib ala Rasydil Jadid karya Syeh
Husain Zaid al-Misra dengan markaz
Mesir.[36]
Dan sampai sekarang, hasanah (kitab-kitab) ilmu falak di Indonesia dapat
dikatakan relatif banyak, apalagi banyak
pakar falak sekarang yang menerbitkan
(menyusun) kitab falak dengan cara mencangkok kitab-kitab yang sudah
lama ada di masyarakat disamping adanya kecanggihan teknologi yang dikembangkan
oleh para pakar astronomi dalam mengolah data-data kontemporer yang berkaitan
dengan ilmu falak.[37]
Dengan melihat
fenomena tersebut, Departemen Agama
telah mengadakan pemilahan kitab dan buku astronomi atas dasar keakuratannya
yakni hisab hakiki taqribi, hisab hakiki
tahkiki, dan hisab hakiki kontemporer.[38] Namun nampaknya pemilahan tersebut belum
(tidak) diterima oleh semua kalangan, karena
masih ada sebagian kalangan yang menyatakan bahwa kitab karyanya adalah sudah akurat. Walaupun
menurut pemilahan Departemen Agama
melihat keakuratannya masih taqribi.[39]
Sebagaimana
dinyatakan di atas, bahwa pada masa penjajahan persoalan penentuan awal bulan
yang berkaitan dengan ibadah diserahkan pada kerajaan-kerajaan Islam yang masih
ada. Kemudian setelah Indonesia merdeka,
secara berangsur-angsur mulai
terjadi perubahan. Setelah terbentuk adanya Departemen Agama pada
tanggal 3 Januari 1946,[40]
persoalan–persoalan yang berkaitan
dengan hari libur (termasuk penetapan 1 Ramadan, 1 Syawal dan
10 Dzulhijjah) diserahkan kepada Departemen Agama berdasarkan P.P. tahun 1946 No.2/Um.7/Um.9/Um jo
keputusan Presiden No. 25 tahun
1967, No. 148 tahun 1968 dan No.
10 tahun 1971.
Walaupun penetapan
hari libur telah diserahkan pada Departemen Agama namun dalam
wilayah etis praktis saat ini
masih (terkadang) belum seragam, sebagai dampak adanya perbedaan pemahaman antara beberapa pemahaman yang ada dalam wacana ilmu falak.[41]
Memperhatikan
fenomena tersebut, nampak bahwa
Departemen Agama berinisiatif untuk mempertemukan perbedaan-perbedaan
tersebut. Sehingga dibentuklah Badan Ilmu Falak Departemen Agama dengan tim perumus : Unsur Departemen Agama:
A. Wasit Aulawi, H. Zaini Ahmad Noeh dan Sa’aduddin Djambek; dari Lembaga
Metereologi dan Geofisika: Susanto, Planetarium dan Santosa Nitisastro.[42]
Berdasarkan keputusan Menteri Agama pada
tanggal 16 Agustus 1972, maka terbentuklah Badan Hisab
Rukyah Departemen Agama dengan
diketui oleh Sa’aduddin Djambek.[43]
Sampai sekarang, Badan Hisab Rukyah tersebut masih ada
yang secara ex officio ketua dijabat Direktur Urusan Agama Islam
Departemen Agama Pusat setelah Badan Peradilan Agama bernaung dalam satu atap
dengan Mahkamah Agung .[44]
Pada dasarnya kehadiran Badan Ilmu Falak bertujuan
untuk menjaga persatuan dan ukhuwah
Islamiyyah khususnya dalam beribadah. Hanya saja dalam dataran
realistis praktis dan etika praktis, masih belum terwujud. Hal ini dapat
dilihat dengan seringkali
terjadinya perbedaan berpuasa Ramadan
maupun berhari raya Idul Fitri.[45]
Melihat fenomena
tersebut, penulis melihat bahwa perhatian
pemerintah dalam persoalan ilmu falak ini masih terkesan formalis belum
membumi dan belum menyentuh pada akar
penyatuan yang baik. Sehingga wajar
kiranya di masa pemerintahan Gus Dur,
sebagaimana disampaikan Wahyu
Widiana bahwa Badan Ilmu Falak
Departemen Agama akan dibubarkan dan
persoalan ilmu falak ini akan
dikembalikan pada masyarakat (umat Islam Indonesia).[46]
Namun demikian, nampak bahwa eksistensi Badan Hisab
Rukyah di Indonesia
ini memberikan warna tersendiri
dalam dinamika penetapan awal bulan Qamariyah di Indonesia.
Kemudian mengenai eksistensi
kitab-kitab ilmu falak di Indonesia sampai saat
ini, nampak masih mewarnai diskursus ilmu falak di
Indonesia. Sayangnya, dalam
dataran Islamic Studies, khususnya ilmu falak nyaris terabaikan
sebagai sebuah disiplin ilmu. Bahkan
ilmu falak hanya merupakan disiplin minor.[47]
Sementara itu perkembangan ilmu astronomi di Indonesia sangat pesat dan
menggembirakan.[48]
Ini nampak dari banyaknya pakar astronomi yang muncul, bahkan juga
memiliki perhatian besar terhadap fiqh ilmu falak, seperti Prof. DR. Bambang
Hidayat, Prof. Ahmad Baiquni, MSc, PhD,
DR. Djoni N. Dawanas, DR. Moedji Raharto
dan DR. Thomas Djamaluddin.
[1] Sebagaimana disebutkan Zubaer Umar
al-Jailany bahwa penemu pertama ilmu falak atau ilmu astronomi adalah Nabi
Idris dan diperkuat dengan pendapat as-Susy sebagaimana beliau nukil, Op.
cit., hlm. 5.
[2] Thanthawy al-Jauhary, Tafsir
al-Jawahir, Mesir: Mustafa al-Babi
al-Halabi, Juz VI, 1346 H, hlm. 16-17.
[3] Abdul Latif Abu Wafa, al-Falak al-
Hadith, Mesir: al-Qatr, 1933, hlm. 3.
[4] Rudolf, There Was Light, New
York: Alfred A KnOpt, 1957 , hlm. 85.
[5] Marsito, Kosmografi Ilmu
Bintang-bintang, Jakarta: Pembangunan, 1960, hlm. 8. Lihat juga EnciclOpedia
Britanicca, Volume II, London: Chicago, 1768, hlm. 583.
[6]
Robert H BaKer, Op. cit., hlm. 174.
[7] Al-Bukhari, Shahih Bukhari,
Mesir: Mustafa al-Babi al-Halabi, Juz III, 1345 H, hlm. 34.
[8] Dinamakan Tahun Gajah karena Ketika
Kelahiran Nabi Muhammad terjadi penyerangan pasukan bergajah. Disebut Tahun Izin, tahun
diizinkannya hijrah Ke Madinah. Disebut
Tahun Amar, tahun
diperintahkannya diri dengan menggunakan senjata. Disebut Tahun Zilzal, karena
terjadi gonjang-ganjing pada tahun Ke-4 Hijriyyah. Baca Sofwan Jannan, Kalender
Hijriyah dan Masehi
150 tahun, Yogyakarta:
UII Press, 1994, hlm. 2-4.
[9] Beliaulah sahabat Nabi yang paling
berani dalam mengambil Kebijakan-Kebijakan yang secara tekstual terKesan
bertentangan dengan al-Qur’an namun secara kontekstual terlihat sekali beliau
lebih menekankan pada maqasidus syari’ah. Baca Amiur Nuruddin, Ijtihad
Umar bin Khattab, Bandung: Pustaka Pelajar, 1995 dan bandingkan dengan Fiqh
Mausu’ah Umar.
[10] Mengenai pertimbangan adanya bulan
Muharam sebagai awal bulan hijriyyah dapat dibaca secara tuntas dalam Sofwan
Jannah, Op. cit., hlm. 2-6.
[11] Muh. Farid Wajdi, Dairatul Ma’arif,
Mesir, Juz VII, Cet, Ke-2, 1342 H, hlm. 485.
[12] Ibid.
[13] Studi tokoh-tokok tersebut dapat dibaca
dalam M. Nathir Arsyad, Ilmuwan Muslim Sepanjang Sejarah, Cet. Ke-4,
Bandung: Mizan, 1995. Lihat juga Mehdi Nakosteen, Kontribusi Islam atas
Dunia Intelektual Barat: Deskripsi Analisis Abad Keemasan Islam, terj. Joko
S Kahhar dan Supriyanto Abdullah, Surabaya: Risalah Gusti, Cet, Ke-1, 1996,
hlm. 203-233.
[14] Ibid.
[15] Umar Amin Husen, Kultur Islam,
Jakarta: Bulan Bintang, 1984, hlm. 99.
[16] Abdul Latif Abu Wafa, Op. cit.,
hlm. 203.
[17] Jamil Ahmad, Seratus Muslim
TerKemuka, terj. Tim Penerjemah Pustaka Firdaus, Cet. Ke-1, Jakarta:
Pustaka Firdaus, 1987, hlm. 166-170. Bandingkan juga EnciclOpedia Britannica,
Op. cit., hlm. 584 dan bandingkan M. Nasir Arsyad, Loc. cit.
[18] Penjelasan selengkapnya lihat John L.
Esposito, The Oxford EncyclOpedia of the Modern Islamic, New York :
Oxford Unversity Press, 1995, hlm. 145-147, dan Liha Umar Amin Husen, Op.
cit., hlm. 59.
[19] Nicolas COpernicus adalah seorang
berKebangsaan Jerman, yang beKerja di gereja, ahli hukum, Kedokteran dan ilmu
perbintangan. Dia melontarkan pendapatnya tentang teori Heliosentris dalam enam
jilid buku yang diberi nama “Nicolai COpernicie Torinensis de Revolusionibus
Orbium Coelestium Libri VI”, baca M S L Toruan, Kosmografi, Semarang:
Banteng Timur, Cet. Ke-7, 1953, hlm. 7.
[20] Robert H. BaKer, Op. cit., hlm.
180-182, dan Lihat H. G. Den Hollander, BeknOpt Leerboekje der Cosmografie,
terj. I Made Sugita, Jakarta: J. B. Wolters Groningen, 1951, hlm. 81-83.
[21] Kalau kita merujuk pada rentetan temuan
sejarah, Issac Newton (1645-1727) menemukan hukum dinamika, Bradleymon (1726)
bahwa bumi tidaklah diam tapi bergerak terbukti adanya aberasi, Titius daan
Bode (1766) menemukan jarak antara Planet dengan Matahari, Bessal (1837-1838)
menemukan parallax pada bintang-bintang, dan masih banyak lagi. Secara utuh
lihat Ibid., hlm. 180-190 dan lihat juga M. Solihan dan Subhan, Rukyah
dengan Tehnologi, Jakarta: Gema Insani Press, 1994, hlm. 18-20.
[22] Ahmad Baiquni, Al-Qur’an, Ilmu
Pengetahuan dan Tehnologi, Cet. Ke-4, Yogyakarta: Dana Bakti Prima Yasa,
1996, hlm. 9.
[23] Baca Nurcholis Madjid, Islam Doktrin
dan Peradaban, Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, Cet. Ke-1, 1992, hlm.
135-136. Lihat juga Azyumardi Azra, Esei-Esei Intelektual Muslim dan Pendidikan
Islam, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, Cet. Ke-1, 1998, hlm. 58-60. Lihat juga
S.H. Nasr, Science and Civilization in Islam, Cambridge: The Islamic
Texts Society, 1985, hlm. 81.
[24] Simon New Comb adalah seorang sarjana
Astronomi Amerika, yang mendapat gelar Profesor dalam bidang Astronomi dan
Matematika. Baca EnciclOpedia Britaniea, Op. cit., vol. 13, hlm. 978,
dan vol. 16, hlm. 283.
[25] Muhammad Mansur bin Abdul Hamid bin
Muhammad Damiri al-Batawi, Sullam al-Nayyirain, Jakarta, t.th, hlm. 3,
dan 8. Lihat juga A. Izzuddin, Analisis Kritis Hisab Awal bulan Qomariyyah
dalam Kitab Sulam Nayyirain
(skripsi), Semarang: Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang, 1997.
[26] Merujuk pada pembagian sistem hisab
yang berKembang di Indonesia yakni hisab hakiki taqribi, hisab hakiki tahkiki
dan hisab hakiki kontemporer, sebagaimana hasil seminar nasional sehari Ilmu
falak pada tanggal 27 April 1992 di Tugu Bogor Jawa Barat.
[27] Selengkapnya baca Mark R.Woodward, Jalan
Baru Islam Memetakan Paradigma Mutakhir Islam Indonesia, terj. Ihsan Ali
Fauzi, Bandung: Mizan, Cet. Ke-1, 1998
[28] Ulasan tentang rihlah ilmiyyah yang
dilakukannya dapat dibaca dalam Biografi Muhammad Manshur al-Batawi,
yang diterbitkan oleh Yayasan al-Manshuriyyah Jakarta Timur. Dimana Muhammad
Manshur dalam lacakan sejarah pernah berguru pada Syekh Abdurrahman bin Ahmad
al-Misra Sedangkan mengenai adanya “jaringan ulama’” dapat dibaca dalam
Ahmad Izzuddin, Loc. cit.
[29] Taufik adalah pakar falak
Indonesia, pernah menjabat sebagai
Direktur Badan Ilmu Falak Indonesia, dan pada masa pemerintahan Gus Dur
menjabat sebagai wakil Ketua Mahkamah Agung.
[30] Menurut Taufik, kitab Khulashatul
Wafiah karya Zubair Umar al-Jailany, Hisab Hakiki karya K. Wardan
Diponingrat, Badiatul Mitsal
karya Ma’shum Jombang dan Almanak Menara Kudus karya Turaikhan Ajhuri,
merupakan kitab cangkokan dari kitab Mathla’ al-Said ala Rasdi al-Jadid,
baca Taufik, Mengkaji Ulang Metode Ilmu Falak Sullam al-Nayyiraini,
makalah disampaikan pada pertemuan tokoh Agama Islam / Orientasi Peningkatan
Pelaksanaan Kegiatan Ilmu falak PTA Jawa Timur pada tanggal 9-10 Agustus 1997,
di Hotel Utami Surabaya, hlm. 1.
[31] Karel A. Steenbrink, Beberapa Aspek
Tentang Islam Di Indonesia Abad Ke-19, Jakarta: Bulan Bintang, Cet. Ke-1,
1984, hlm. 3.
[32] Secara lengkap tentang kalender Aji
Soko, baca Covarrubias Miguel, Island of Bali, New York: Alfred A.
Knopt, 1947, hlm. 282-284. Bandingkan juga
H. G Den Hollander, Op. cit., hlm. 90-92.
[33] Penggagasan dan penCetus
pertama, penanggalan ini
gabungan tersebut yang selanjutnya
diKenal dengan kalender Jawa (Islam) ialah Sri Sultan Muhammad Sultan Agung
Prabu Hanyakrakusuma (raja Kerajaan Mataram II 1613 – 1645), lihat Muhammad
Wardan, Hisab Urfi dan Hakiki, Yogyakarta, Cet. Ke-1, 1957, hlm. 12.
Bandingkan juga dalam Marsito, Kosmografi, Jakarta: Pembangunan, 1960,
hlm. 75.
[34] Fenomena ini dapat dilihat secara utuh
dalam Ichtijanto, Almanak Ilmu falak, Jakarta: Badan Ilmu Falak Depag
RI, 1981, hlm. 22.
[35] Seperti juga Sullamun Nayyirain karya
Muhammad Mansur dengan markaz Jakarta, Jadawil Falakiyyah karya Qusyairi
dengan markas Pasuruan, baca Sriyatin Sadik,
PerKembangan Ilmu Falak dan Penetapan Awal Bulan Qamariyyah, dalam Menuju
Kesatuan Hari Raya, Surabaya:
Bina Ilmu, 1995, hlm. 64-66.
[36] Al-Khulasatul Wafiyah karya
Zubaer Umar al-Jailany dengan markaz Mesir, al-Hamihijul Hamidiyah karya
Abdul Hamid Mursy dengan markaz Mesir, dan masih banyak lagi, Ibid., hlm. 67-68.
[37] Sebagaimana komentar Slamet Hambali
dalam menanggapi perKembangan hasanah
kitab hisab di Indonesia, seperti kitab karya
Noor Ahmad SS (yakni Syamsul Hilal dan Nurul Anwar) yang merupakan
cangkokan dari kitab
al-Khulashatul Wafiyah.
[38] Pemilahan tersebut muncul dalam
forum Seminar Sehari Ilmu Falak tanggal
27 April 1992 di Tugu Bogor yang
diselenggarakan oleh Departemen Agama., Sriyatin Sadik, Op.cit., hlm. 68.
[39] Sebagaimana asumsi-asumsi pengikut setia kitab Sullamun
Nayyirain. Padahal dalam pelacakan teori yang digunakan adalah menggunakan teori
geosentris oleh Ptolomeus yang telah ditumbangkan oleh
teori Heliosentris yang ditemukan oleh
Copernicus. Asumsi tersebut diikuti oleh Lajnah Falakiyyah Pondok
Pesantren Al-Falah Ploso Mojo Kediri, dimana
penulis sendiri pernah menyelami pendidikan hisab Sulamun
Nayyiraini dan seperti sebagian besar umat Islam di Jakarta Timur dan
Selatan, khususnya daerah pondok
al-Mansyuriyyah.
[40] Harun
Nasution, EnsiklOpedi Islam Indonesia, Jakarta: Djambatan, Cet.
Ke-1, 1992, hlm. 211.
[41] Dimana hampir setiap organisasi
masyarakat termasuk Nahdlatul Ulama dan
Muhammadiyyah selalu juga
mengeluarkan “Ketetapannya” walaupun dalam Kemasan bahasa yang lain seperti fatwa dan ikhbar.
Baca Susiknan Azhari, Saaduddin Djambek (1911-1977) Dalam Sejarah Pemikiran Hisab di Indonesia, Yogyakarta: IAIN
Yogyakarta, 1999, hlm. 15.
[42] Ichtujanto, Op. cit., hlm. 23.
[43] Hamdany Ali, Himpunan Keputusan
Menteri Agama, Jakarta: Lembaga
Lektur Keagamaan, Cet. Ke-1, 1972, hlm. 241.
[44] Namun dalam dataran praktis realistis, ternyata pembentukan
Badan Hisab Rukyah sangat tergantung pada kebijakan daerah dalam hal
ini propinsi terkait. Sebagaimana pengalaman pribadi penulis ketika
bersama-sama Pengadilan Tinggi Agama Jawa Tengah (Drs. Imron SH, sekarang
hakim tinggi di PTA
Jawa Timur) sangat tergantung pada gubernur Jawa Tengah pada waktu itu
(Soewardi).
[45] Sebagai contoh Hari Raya 1405
bertepatan tahun 1985, sebagian kaum muslimin berhari raya pada hari Rabu 19
Juni 1985 dan ada yang berhari raya Kamis, 20 Juni 1985 dan masih banyak
lagi kasus-kasus perbedaan semacam itu.
Baca Nourouzzaman Shidiqi, Fiqh Indonesia Penggagas dan Gagasannya,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet. Ke-1, 1997, hlm. 201.
[46] Wahyu Widiana menyampaikan hal tersebut
Ketika menjadi Key Note Speech dalam acara Work Shop Nasional
"Mengkaji Ulang Metode Penetapan Awal Waktu Shalat" yang
diselenggarakan UII Yogyakarta, 7 April
2001. Dan bandingkan pernyatakan Syukri Ghozali: “Mengharap Kepada Badan
Ilmu Falak Departemen Agama agar memperhatikan mesyarakat Islam Indonesia. Bila
masyarakat dipaksa menganut suatu pendapat sebelum ada titik temu dari berbagai pendapat, maka usaha
untuk mempersatukan pendapat akan mengalami Kegagaalan”. A Wasit Aulawi, Laporan Musyawarah
Nasional Hisab dan Rukyah 1977, Jakarta: Ditbinpera, 1977, hlm.
4.
[47] Dimana pada masa Dirjen Depag RI, Andi
Rosydianah, Kebijakan-Kebijakan sangat menghambat perKembangan fiqh ilmu falak,
misalnya diKeluarkannya mata kuliah ilmu falak dari kurikulum nasional, baca Susiknan Azhari, Revitalisasi
Studi Ilmu Falak di Indonesia, dalam al-Jami’ah, Pasca IAIN Yogyakarta, No.
65/VI/2000, hlm. 108. Bandingkan pula Azyumardi Azra, Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi
Menuju Milenium Baru, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, Cet. Ke-1, 1999, hlm.
203, dan bandingkan juga Depag RI, Himpunan Keputusan Musayawarah Hisab Rukyah dari berbagai Sistem Tahun 1990-1997,
Jakarta: Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam, Cet. Ke-1,
1999-2000, hlm. 97.
[48] Lihat Bambang Hidayat, Under a
Tropical Sky: A History of Astronomy in Indonesia, dalam Journal Of
Astronomical History And Heritage, June 2000, hlm. 45-58.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar