Minggu, 16 September 2012

SEJARAH ILMU FALAK

SEJARAH ILMU FALAK
1.            Sejarah Dunia
Merujuk pada penemu pertama ilmu falak atau astronomi yakni Nabi Idris[1] sebagaimana disebutkan dalam setiap mukadimah kitab-kitab falak,  nampak bahwa wacana ilmu falak sudah ada sejak waktu itu, atau bahkan lebih awal dari itu. Ini kiranya maklum, karena suatu temuan baru biasanya merupakan suatu respon atau tanggapan dari sebuah persoalan yang muncul dari  masyarakat. Sehingga kemunculan ilmu falak dalam telusuran historis, kiranya dapat diyakinkan kalau muncul sebelum temuan ilmu falak itu sendiri. Walaupun demikian, penulis belum dapat melacak benang merahnya dalam upaya menyambungkan  historisitas pada masa sesudahnya.
Dalam lacakan penulis, baru sekitar abad ke-28 sebelum masehi, embrio ilmu falak mulai nampak. Ia digunakan untuk menentukan waktu bagi saat-saat penyembahan berhala. Keadaan seperti ini sudah nampak di beberapa negara seperti di Mesir untuk menyembah Dewa Orisis, Isis dan Amon, di Babilonia dan Mesopotamia untuk menyembah dewa Astoroth dan Baal.[2]
Pada abad XX sebelum masehi, di negeri Tionghoa telah ditemukan alat untuk mengetahui gerak matahari dan benda-benda langit lainnya dan mereka pula yang mula-mula dapat menentukan terjadinya gerhana matahari. [3]
Kemudian berlanjut pada asumsi  Phytagoras (580-500 SM) bahwa bumi berbentuk bulat bola, yang dilanjutkan Heraklitus dari Pontus (388-315 SM) yang mengemukakan bahwa bumi berputar pada sumbunya, mercurius dan venus mengelilingi matahari dan matahari mengelilingi bumi.[4] Kemudian temuan tersebut dipertajam dengan penelitan Aristarchus dari Samos (310-230 SM)  tentang hasil pengukuran jarak antara bumi dan matahari, dan pernyataannya bumi beredar mengelilingi matahari. Lalu Eratosthenes dari Mesir (276-196 SM) juga sudah dapat menghitung keliling bumi.[5]
Penulis menduga bahwa sejak sebelum masehi  sudah nampak adanya persoalan ilmu falak, walaupun dalam kemasan yang berbeda. Kemudian di masa sesudah masehi ditandai dengan temuan Claudius Ptalomeus (140 M) berupa catatan-catatan tentang bintang-bintang  yang diberi nama “Tabril Magesthi”. Berasumsi bahwa bentuk semesta alam adalah geosentris, yakni pusat alam terletak pada bumi yang tidak berputar pada sumbunya dan dikelililingi oleh bulan, mercurius, venus, matahari, mars, jupiter, dan saturnus. Asumsi tersebut dalam dunia astronomi disebut teori Geosentris.[6]
Selanjutnya di masa Islam (masa Rasulullah) kemunculan ilmu falak memang belum masyhur di kalangan umat Islam, sebagaimana terekam dalam hadits Nabi : “inna ummatun umiyyatun la naktubu wala nahsibu”.[7] Walaupun sebenarnya ada juga di antara mereka yang mahir dalam perhitungan. Sehingga realitas persoalan ilmu Falak pada masa itu tentunya sudah ada walaupun dari sisi hisabnya tidak begitu masyhur. Sebenarnya perhitungan tahun Hijriyah   pernah digunakan  sendiri   oleh Nabi Muhammad  ketika  beliau menulis surat kepada kaum Nasrani bani Najran, tertulis ke V Hijriyah, namun di dunia Arab lebih mengenal peristiwa-peristiwa yang terjadi sehingga ada istilah tahun gajah, tahun izin, tahun  amar dan tahun zilzal.[8]
Namun secara formal, wacana ilmu falak di masa ini baru nampak dari adanya penetapan hijrah Nabi dari Makkah ke Madinah sebagai pondasi dasar kalender Hijriyah yang dilakukan oleh sahabat Umar bin Khattab, tepatnya pada tahun ke tujuh  belas Hijriyah[9]. Dengan berbagai pertimbangan, akhirnya bulan Muharram ditetapkan sebagai awal bulan Hijriyah.[10]
Dalam sejarah, kalau kita tilik secara jeli ternyata di dunia astronomi khususnya, dan ilmu pengetahuan pada umumnya, selama hampir delapan abad tidak nampak adanya masa keemasan. Baru di masa Daulah Abbasiyah, masa kejayaan itu nampak. Sebagaimana di masa khalifah Abu Ja’far al-Manshur, ilmu astronomi mendapat perhatian khusus, seperti upaya menterjemahkan kitab Sindihind dari India.[11]
Kemudian di masa khalifah al-Makmun, naskah “Tabril Magesthy” diterjemahkan dalam bahasa Arab oleh Hunain bin Ishak. Dari sinilah lahir istilah ilmu falak sebagai salah satu dari cabang ilmu keislaman dan tumbuhnya ilmu hisab tentang penentuan awal waktu shalat, penentuan gerhana, awal bulan qomariyah dan penentuan arah kiblat.[12]
Tokoh yang hidup di masa ini adalah Sultan Ulugh Beik, Abu Raihan, Ibnu Syatir dan Abu Manshur al-Balkhiy.[13] Observatorium didirikan al-Makmun di Sinyar dan Junde Shahfur Bagdad, dengan meninggalkan teori Yunani kuno dan membuat teori sendiri dalam menghitung kulminasi matahari. Juga menghasilkan data-data yang berpedoman pada buku Shindihind yang disebut “Tables of Makmun” dan oleh orang Eropa dikenal dengan  Astronomos” atau “Astronomy”.[14]
Masa kejayaan itu juga ditandai dengan adanya al-Farghani seorang ahli falak, yang oleh orang Barat dipanggil Farganus, buku-bukunya diterjemahkan oleh orang Latin dengan nama “Compendium  yang dipakai pegangan dalam mempelajari ilmu perbintangan oleh astronom-astronom Barat seperti Regiomontanus.[15] Kemudian Maslamah Ibnu al-Marjiti di Andalusia telah merubah tahun Persi dengan tahun Hijriyah dengan meletakkan bintang-bintang sesuai dengan awal tahun Hijriyah.[16] Di samping juga ada pakar falak kenamaan lainnya seperti : Mirza Ulugh bin Timurlank yang terkenal dengan Ephemerisnya, Ibnu Yunis (950-100 M), Nasiruddin (1201-1274 M) dan Ulugh Beik (1344-1449 M) yang terkenal dengan landasan ijtima’ dalam penentuan awal bulan Qamariyyah.[17]
Di Bashrah, Abu Ali al-Hasan bin al-Haytam (965-1039 M) seorang pakar falak yang terkenal dengan bukunya “Kitabul Manadhir” dan tahun 1572 diterjemahkan dengan nama “Optics” yang merupakan temuan baru tentang refraksi (sinar bias). Tokoh-tokoh tersebut sangat mempengaruhi dan memberikan kontribusi yang positif bagi perkembangan ilmu falak di dunia Islam pada masanya masing-masing, meskipun masih terkesan bernuansa Ptolomeus.[18]
Setelah umat Islam menampakkan kemajuan dalam  ilmu pengetahuan, pada pertengahan abad XIII M terjadi ekspansi intelektualitas ke Eropa melalui Spanyol. Sedangkan Eropa pada waktu itu tengah dilanda oleh tumbuhnya isme-isme baru seperti Humanisme, Rasionalisme, dan Renaisance, sebagai reaksi dari filsafat Scholastik di masa itu, dimana orang dilarang menggunakan rasio atau berfaham kontradiksi dengan faham Gereja. Kemudian  muncul Nicolas Copernicus[19] (1473-1543) yang berupaya membongkar teori Geosentris yang dikembangkan oleh Claudius Ptalomeus. Teori yang dikembangkan adalah bukan bumi yang dikelilingi matahari, akan tetapi sebaliknya, serta planet-planet beserta satelit-satelit yang mengelilingi matahari, yang kemudian dikenal dengan teori Heliosentris. Perdebatan teori tersebut berkembang sampai abad XVIII, di mana penyelidikan Galilleo Galilie dan John Kepler menyatakan pembenaran pada teori Heliosentris. Walaupun John Kepler juga berbeda dengan Copernicus dalam hal lintasan planet mengelilingi matahari, di mana menurut Copernicus berbentuk bulat sedangkan menurut John Kepler berbentuk ellips (bulat telur).[20] Kemudian pada tahun-tahun berikutnya banyak ditemukan temuan-temuan seputar kosmografi.[21]
Namun dalam wacana historisitas  ilmu falak, bahwa tokoh yang pertama kali melakukan kritik tajam terhadap teori geosentris adalah al-Biruni dengan asumsi tidak masuk akal karena langit yang begitu besar dan luas dengan bintang-bintannya dinyatakan mengelilingi bumi sebagai pusat tata surya.[22] Dari temuan ini dapat diambil kesimpulan bahwa al-Birunilah peletak dasar teori Heliosentris.
Fenomena di atas menimbulkan perselisihan di kalangan  para peneliti modern tentang sejarah ilmu pengetahuan. Mereka berselisih pendapat tentang orisinalitas kontribusi dan peranan orang-orang Islam. Bertrand Russel, sebagaimana dikutip Nurcholis Madjid misalnya, cenderung meremehkan tingkat orisinalitas kontribusi Islam di bidang filsafat, namun tetap mengisyaratkan adanya tingkat orisinalitas yang tinggi di bidang matematika[23], termasuk di dalamnya astronomi.
Kembali pada temuan Ulugh Beik (1344-1449) yang berupa jadwal Ulugh Beik, pada tahun 1650 M diterjemahkan dalam bahasa Inggris oleh J. Greaves dan Thyde, dan oleh Saddilet disalin dalam bahasa Prancis. Kemudian Simon New Comb (1835-1909 M)[24] berhasil membuat jadwal astronomi baru ketika beliau berkantor di Nautical Al Manac Amerika (1857-1861), sehingga jadwalnya sampai sekarang terkenal dengan nama Almanac Nautica.
Kedua jadwal itulah yang selama ini mewarnai tipologi ilmu falak di Indonesia. Dimana tipologi ilmu falak klasik diwakili oleh kitab Sullamun Nayyirain sebagaimana diakui sendiri oleh Mansur al-Batawi dalam kitabnya, bahwa jadwal yang dipakai adalah bersumber pada data Ulugh Beik.[25] Sedangkan tipologi hisab modern, sebagaimana yang berkembang dalam wacana ilmu falak dan tehnik hisab, bahwa Almanac Nautica, diklasifikasikan dalam tipologi hisab (hakiki) kontemporer.[26] 
2.  Sejarah Indonesia
Dalam lintasan sejarah, selama pertengahan pertama abad ke dua puluh, peringkat kajian Islam yang paling tinggi hanya dapat dicapai di Makkah, yang kemudian diganti di Kairo.[27] Sehingga kajian Islam termasuk  kajian ilmu falak tidak dapat lepas dari adanya “jaringan ulama” (meminjam istilah Azyumardi Azra) Makkah (Jazirah Arab). Ini terbukti adanya “jaringan ulama” yang dilakukan oleh ulama-ulama ilmu falak Indonesia. Seperti Muhammad Manshur al-Batawi, ternyata dalam lacakan sejarah  kitab monumentalnya Sullamun Nayyirain adalah hasil dari “rihlah ilmiyyah” yang beliau lakukan selama di Jazirah Arab.[28] Sehingga diakui atau tidak, pemikiran ilmu falak di Jazirah Arab seperti di Mesir, sangat berpengaruh dalam pemikiran  ilmu falak di Indonesia. Begitu juga beberapa kitab ilmu falak yang berkembang di Indonesia menurut Taufik[29], banyak merupakan hasil cangkokan dari kitab karya ulama Mesir yakni al-Mathla’ al-Said ala Rasdi al-Jadid.[30] Sehingga dalam perjalanan sejarah ilmu falak di Indonesia tidak bisa lepas dari sejarah Islam di Indonesia yang memang merupakan hasil dari jaringan ulama.
Dalam pemetaan sejarah Islam di Indonesia menurut Karel A. Steenbrink, terpilah menjadi dua periode yang harus mendapat perhatian khusus, yakni periode masuknya Islam di Indonesia dan periode zaman reformisme abad ke dua puluhan.[31]
Sejarah mencatat bahwa sebelum kedatangan agama Islam di Indonesia telah tumbuh perhitungan tahun yang ditempuh menurut kalender Jawa Hindu atau tahun Soko yang dimulai pada hari Sabtu, 14 Maret 78 M yakni tahun penobatan Prabu Syaliwohono (Aji Soko). Dan kalender inilah yang digunakan umat Budha di Bali guna mengatur kehidupan masyarakat dan agama.[32]
Namun sejak tahun 1043 H / 1633 M yang bertepatan  dengan 1555 tahun Soko, tahun Soko diasimilasikan dengan Hijriyah, kalau pada  mulanya tahun Soko berdasarkan peredaran matahari, oleh Sultan Agung diubah menjadi  tahun Hijriyah yakni berdasarkan peredaran bulan, sedangkan tahunnya tetap meneruskan tahun Soko tersebut.[33] Sehingga jelas bahwa sejak zaman berkuasanya kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia, umat Islam sudah terlibat dalam pemikiran ilmu falak, hal ini ditandai dengan adanya penggunaan kalender Hijriyah sebagai kalender resmi. Dan patut dicatat dalam sejarah, bahwa prosesi tersebut berarti merupakan prosesi penciptaan suatu masyarakat lama menjadi baru yakni masyarakat kehinduan dalam masyarakat keislaman. 
Setelah adanya penjajahan Belanda di Indonesia terjadi pergeseran penggunaan kalender resmi pemerintahan, semula kalender Hijriyah diubah menjadi kalender masehi (miladiyyah). Meskipun demikian, umat Islam tetap menggunakan kalender Hijriyah, terutama daerah kerajaan-kerajaan Islam. Tindakan ini tidak dilarang oleh pemerintah kolonial bahkan penetapannya diserahkan kepada penguasa kerajaan-kerajaan Islam yang masih ada, terutama penetapan terhadap hari-hari yang berkaitan dengan persoalan ibadah, seperti 1 Ramadhan, 1 Syawal, dan 10 Dzulhijjah.[34]
Sehingga jelas bahwa di samping adanya upaya membumikan kalender Hijriyah dengan adanya  asimilasi,  sebagaimana telah  penulis kemukakan di atas bahwa jaringan ulama dalam ilmu falak memang benar-benar ada. Prosesi tersebut nampak dengan adanya   perkembangan yang pesat, sejak abad pertengahan yang didasarkan pada  sistem serta tabel matahari dan bulan yang disusun oleh astronom  Sultan Ulugh Beik Asmarakandi. Ilmu falak  ini  berkembang dan tumbuh subur  terutama  di pondok-pondok   pesantren di Jawa dan Sumatera. Kitab-kitab ilmu hisab yang  dikembangkan  para  ahli  hisab di Indonesia biasanya  mabda’ (epoch) dan markaznya disesuaikan dengan tempat tinggal pengarangnya. Seperti Nawawi Mahammad Yunus al-Kadiri dengan karyanya “Risalatul  Qamarain” dengan markaz Kediri.[35] Walaupun ada juga yang tetap berpegang pada kitab asal (kitab induk)   seperti al-Mathla’ul Said fi  Hisabil Kawakib ala Rasydil Jadid karya Syeh Husain  Zaid al-Misra dengan markaz Mesir.[36] Dan sampai sekarang, hasanah (kitab-kitab) ilmu falak di Indonesia dapat dikatakan relatif banyak, apalagi  banyak pakar falak sekarang yang menerbitkan  (menyusun) kitab falak dengan cara mencangkok kitab-kitab yang sudah lama ada di masyarakat disamping adanya kecanggihan teknologi yang dikembangkan oleh para pakar astronomi dalam mengolah data-data kontemporer yang berkaitan dengan ilmu falak.[37]
Dengan melihat fenomena tersebut, Departemen  Agama telah mengadakan pemilahan kitab dan buku astronomi atas dasar keakuratannya yakni hisab hakiki  taqribi, hisab hakiki tahkiki, dan hisab hakiki  kontemporer.[38]  Namun nampaknya pemilahan tersebut belum (tidak) diterima oleh semua kalangan, karena  masih ada sebagian kalangan yang menyatakan bahwa   kitab karyanya adalah sudah akurat. Walaupun menurut  pemilahan Departemen Agama melihat keakuratannya  masih taqribi.[39]    
Sebagaimana dinyatakan di atas, bahwa pada masa penjajahan persoalan penentuan awal bulan yang berkaitan dengan ibadah diserahkan pada kerajaan-kerajaan Islam yang masih ada. Kemudian setelah Indonesia  merdeka, secara  berangsur-angsur  mulai  terjadi perubahan. Setelah terbentuk adanya Departemen Agama pada tanggal 3 Januari 1946,[40] persoalan–persoalan yang  berkaitan dengan  hari libur  (termasuk penetapan 1 Ramadan, 1 Syawal dan 10 Dzulhijjah) diserahkan kepada Departemen Agama  berdasarkan P.P. tahun  1946 No.2/Um.7/Um.9/Um   jo  keputusan Presiden No. 25 tahun  1967,  No. 148 tahun 1968 dan No. 10 tahun 1971.
Walaupun penetapan hari libur telah diserahkan pada Departemen Agama namun  dalam  wilayah etis praktis  saat ini masih (terkadang) belum  seragam,  sebagai dampak  adanya perbedaan pemahaman   antara beberapa pemahaman  yang ada dalam wacana ilmu falak.[41]
Memperhatikan fenomena tersebut, nampak bahwa  Departemen Agama berinisiatif untuk mempertemukan perbedaan-perbedaan tersebut. Sehingga dibentuklah Badan Ilmu Falak Departemen Agama dengan  tim perumus : Unsur Departemen  Agama:  A. Wasit Aulawi, H. Zaini Ahmad Noeh dan Sa’aduddin Djambek; dari Lembaga Metereologi dan Geofisika: Susanto, Planetarium dan Santosa Nitisastro.[42] Berdasarkan keputusan  Menteri Agama pada tanggal 16 Agustus 1972, maka terbentuklah Badan  Hisab  Rukyah Departemen Agama  dengan diketui oleh Sa’aduddin Djambek.[43] Sampai sekarang,  Badan  Hisab Rukyah tersebut masih  ada  yang secara ex officio ketua dijabat Direktur Urusan Agama Islam Departemen Agama Pusat setelah Badan Peradilan Agama bernaung dalam satu atap dengan Mahkamah Agung .[44]
Pada dasarnya  kehadiran Badan Ilmu Falak bertujuan untuk  menjaga persatuan dan ukhuwah Islamiyyah  khususnya  dalam beribadah. Hanya saja  dalam dataran  realistis praktis  dan etika   praktis, masih belum terwujud. Hal ini dapat dilihat dengan  seringkali terjadinya  perbedaan berpuasa  Ramadan  maupun berhari  raya  Idul Fitri.[45]
Melihat fenomena tersebut, penulis melihat bahwa perhatian  pemerintah dalam persoalan ilmu falak ini masih terkesan formalis belum membumi dan belum  menyentuh pada akar penyatuan yang baik. Sehingga  wajar kiranya di masa pemerintahan Gus Dur,  sebagaimana disampaikan  Wahyu Widiana bahwa  Badan Ilmu Falak Departemen Agama  akan dibubarkan dan persoalan  ilmu falak ini akan dikembalikan pada masyarakat (umat Islam Indonesia).[46] Namun demikian, nampak bahwa eksistensi  Badan Hisab  Rukyah  di  Indonesia  ini  memberikan warna tersendiri dalam  dinamika penetapan awal  bulan Qamariyah di  Indonesia.
Kemudian mengenai eksistensi kitab-kitab  ilmu falak di  Indonesia sampai  saat  ini,  nampak masih  mewarnai diskursus ilmu falak  di  Indonesia. Sayangnya,  dalam dataran Islamic Studies, khususnya ilmu falak nyaris terabaikan sebagai  sebuah disiplin ilmu. Bahkan ilmu falak hanya merupakan disiplin minor.[47] Sementara itu perkembangan ilmu astronomi di Indonesia sangat pesat dan menggembirakan.[48] Ini nampak dari  banyaknya  pakar astronomi yang muncul, bahkan juga memiliki perhatian besar terhadap fiqh ilmu falak, seperti Prof. DR. Bambang Hidayat, Prof. Ahmad  Baiquni, MSc, PhD, DR. Djoni N. Dawanas, DR.  Moedji Raharto dan  DR. Thomas Djamaluddin.



[1] Sebagaimana disebutkan Zubaer Umar al-Jailany bahwa penemu pertama ilmu falak atau ilmu astronomi adalah Nabi Idris dan diperkuat dengan pendapat as-Susy sebagaimana beliau nukil, Op. cit., hlm. 5.  
[2] Thanthawy al-Jauhary, Tafsir al-Jawahir,  Mesir: Mustafa al-Babi al-Halabi, Juz VI, 1346 H, hlm. 16-17.
[3] Abdul Latif Abu Wafa, al-Falak al- Hadith, Mesir: al-Qatr, 1933, hlm. 3.
[4] Rudolf, There Was Light, New York: Alfred A KnOpt, 1957 , hlm. 85.
[5] Marsito, Kosmografi Ilmu Bintang-bintang, Jakarta: Pembangunan, 1960, hlm. 8. Lihat juga EnciclOpedia Britanicca, Volume II, London: Chicago, 1768, hlm. 583.
[6]  Robert H BaKer, Op. cit., hlm. 174.
[7] Al-Bukhari, Shahih Bukhari, Mesir: Mustafa al-Babi al-Halabi, Juz III, 1345 H, hlm. 34.
[8] Dinamakan Tahun Gajah karena Ketika Kelahiran Nabi Muhammad terjadi penyerangan pasukan  bergajah. Disebut Tahun Izin, tahun diizinkannya hijrah Ke Madinah. Disebut  Tahun  Amar, tahun diperintahkannya diri dengan menggunakan senjata. Disebut Tahun Zilzal, karena terjadi gonjang-ganjing pada tahun Ke-4 Hijriyyah. Baca Sofwan Jannan, Kalender Hijriyah  dan  Masehi  150  tahun, Yogyakarta: UII  Press, 1994,  hlm. 2-4.
[9] Beliaulah sahabat Nabi yang paling berani dalam mengambil Kebijakan-Kebijakan yang secara tekstual terKesan bertentangan dengan al-Qur’an namun secara kontekstual terlihat sekali beliau lebih menekankan pada maqasidus syari’ah. Baca Amiur Nuruddin, Ijtihad Umar bin Khattab, Bandung: Pustaka Pelajar, 1995 dan bandingkan dengan Fiqh Mausu’ah Umar.
[10] Mengenai pertimbangan adanya bulan Muharam sebagai awal bulan hijriyyah dapat dibaca secara tuntas dalam  Sofwan  Jannah, Op.  cit.,  hlm. 2-6.
[11] Muh. Farid Wajdi, Dairatul Ma’arif, Mesir, Juz VII, Cet, Ke-2, 1342 H, hlm. 485.            
[12] Ibid.
[13] Studi tokoh-tokok tersebut dapat dibaca dalam M. Nathir Arsyad, Ilmuwan Muslim Sepanjang Sejarah, Cet. Ke-4, Bandung: Mizan, 1995. Lihat juga Mehdi Nakosteen, Kontribusi Islam atas Dunia Intelektual Barat: Deskripsi Analisis Abad Keemasan Islam, terj. Joko S Kahhar dan Supriyanto Abdullah, Surabaya: Risalah Gusti, Cet, Ke-1, 1996, hlm. 203-233.
[14] Ibid.
[15] Umar Amin Husen, Kultur Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1984, hlm. 99. 
[16] Abdul Latif Abu Wafa, Op. cit., hlm. 203.
[17] Jamil Ahmad, Seratus Muslim TerKemuka, terj. Tim Penerjemah Pustaka Firdaus, Cet. Ke-1, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1987, hlm. 166-170. Bandingkan juga EnciclOpedia Britannica, Op. cit., hlm. 584 dan bandingkan M. Nasir Arsyad, Loc. cit. 
[18] Penjelasan selengkapnya lihat John L. Esposito, The Oxford EncyclOpedia of the Modern Islamic, New York : Oxford Unversity Press, 1995, hlm. 145-147, dan Liha Umar Amin Husen, Op. cit., hlm. 59.
[19] Nicolas COpernicus adalah seorang berKebangsaan Jerman, yang beKerja di gereja, ahli hukum, Kedokteran dan ilmu perbintangan. Dia melontarkan pendapatnya tentang teori Heliosentris dalam enam jilid buku yang diberi nama “Nicolai COpernicie Torinensis de Revolusionibus Orbium Coelestium Libri VI”, baca M S L Toruan, Kosmografi, Semarang: Banteng Timur, Cet. Ke-7, 1953, hlm. 7.
[20] Robert H. BaKer, Op. cit., hlm. 180-182, dan Lihat H. G. Den Hollander, BeknOpt Leerboekje der Cosmografie, terj. I Made Sugita, Jakarta: J. B. Wolters Groningen, 1951, hlm. 81-83.
[21] Kalau kita merujuk pada rentetan temuan sejarah, Issac Newton (1645-1727) menemukan hukum dinamika, Bradleymon (1726) bahwa bumi tidaklah diam tapi bergerak terbukti adanya aberasi, Titius daan Bode (1766) menemukan jarak antara Planet dengan Matahari, Bessal (1837-1838) menemukan parallax pada bintang-bintang, dan masih banyak lagi. Secara utuh lihat Ibid., hlm. 180-190 dan lihat juga M. Solihan dan Subhan, Rukyah dengan Tehnologi, Jakarta: Gema Insani Press, 1994, hlm. 18-20.
[22] Ahmad Baiquni, Al-Qur’an, Ilmu Pengetahuan dan Tehnologi, Cet. Ke-4, Yogyakarta: Dana Bakti Prima Yasa, 1996, hlm. 9.
[23] Baca Nurcholis Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, Cet. Ke-1, 1992, hlm. 135-136. Lihat juga Azyumardi Azra, Esei-Esei Intelektual Muslim dan Pendidikan Islam, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, Cet. Ke-1, 1998, hlm. 58-60. Lihat juga S.H. Nasr, Science and Civilization in Islam, Cambridge: The Islamic Texts Society, 1985, hlm. 81.
[24] Simon New Comb adalah seorang sarjana Astronomi Amerika, yang mendapat gelar Profesor dalam bidang Astronomi dan Matematika. Baca EnciclOpedia Britaniea, Op. cit., vol. 13, hlm. 978, dan vol. 16,  hlm. 283. 
[25] Muhammad Mansur bin Abdul Hamid bin Muhammad Damiri al-Batawi, Sullam al-Nayyirain, Jakarta, t.th, hlm. 3, dan 8. Lihat juga A. Izzuddin, Analisis Kritis Hisab Awal bulan Qomariyyah dalam  Kitab Sulam Nayyirain (skripsi), Semarang: Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang, 1997.  
[26] Merujuk pada pembagian sistem hisab yang berKembang di Indonesia yakni hisab hakiki taqribi, hisab hakiki tahkiki dan hisab hakiki kontemporer, sebagaimana hasil seminar nasional sehari Ilmu falak pada tanggal 27 April 1992 di Tugu Bogor Jawa Barat.
[27] Selengkapnya baca Mark R.Woodward, Jalan Baru Islam Memetakan Paradigma Mutakhir Islam Indonesia, terj. Ihsan Ali Fauzi, Bandung: Mizan, Cet. Ke-1, 1998 
[28] Ulasan tentang rihlah ilmiyyah yang dilakukannya dapat dibaca dalam Biografi Muhammad Manshur al-Batawi, yang diterbitkan oleh Yayasan al-Manshuriyyah Jakarta Timur. Dimana Muhammad Manshur dalam lacakan sejarah pernah berguru pada Syekh Abdurrahman bin Ahmad al-Misra Sedangkan mengenai adanya “jaringan ulama’” dapat dibaca dalam Ahmad Izzuddin, Loc. cit.
[29] Taufik adalah pakar falak Indonesia,  pernah menjabat sebagai Direktur Badan Ilmu Falak Indonesia, dan pada masa pemerintahan Gus Dur menjabat sebagai wakil Ketua Mahkamah Agung. 
[30] Menurut Taufik, kitab Khulashatul Wafiah karya Zubair Umar al-Jailany, Hisab Hakiki karya K. Wardan Diponingrat,  Badiatul Mitsal karya Ma’shum Jombang dan Almanak Menara Kudus karya Turaikhan Ajhuri, merupakan kitab cangkokan dari kitab Mathla’ al-Said ala Rasdi al-Jadid, baca Taufik, Mengkaji Ulang Metode Ilmu Falak Sullam al-Nayyiraini, makalah disampaikan pada pertemuan tokoh Agama Islam / Orientasi Peningkatan Pelaksanaan Kegiatan Ilmu falak PTA Jawa Timur pada tanggal 9-10 Agustus 1997, di Hotel Utami Surabaya, hlm. 1.  
[31] Karel A. Steenbrink, Beberapa Aspek Tentang Islam Di Indonesia Abad Ke-19, Jakarta: Bulan Bintang, Cet. Ke-1, 1984, hlm. 3.
[32] Secara lengkap tentang kalender Aji Soko, baca Covarrubias Miguel, Island of Bali, New York: Alfred A. Knopt, 1947, hlm. 282-284. Bandingkan juga  H. G Den Hollander, Op. cit., hlm. 90-92.
[33] Penggagasan  dan penCetus   pertama,   penanggalan ini gabungan tersebut  yang selanjutnya diKenal dengan kalender Jawa (Islam) ialah Sri Sultan Muhammad Sultan Agung Prabu Hanyakrakusuma (raja Kerajaan Mataram II 1613 – 1645), lihat Muhammad Wardan, Hisab Urfi dan Hakiki, Yogyakarta, Cet. Ke-1, 1957, hlm. 12. Bandingkan juga dalam Marsito, Kosmografi, Jakarta: Pembangunan, 1960, hlm. 75.
[34] Fenomena ini dapat dilihat secara utuh dalam Ichtijanto, Almanak Ilmu falak, Jakarta: Badan Ilmu Falak Depag RI, 1981, hlm. 22.
[35] Seperti juga Sullamun Nayyirain karya Muhammad Mansur dengan markaz Jakarta, Jadawil Falakiyyah karya Qusyairi dengan markas Pasuruan, baca Sriyatin Sadik,  PerKembangan Ilmu Falak dan Penetapan Awal Bulan Qamariyyah, dalam  Menuju  Kesatuan Hari  Raya, Surabaya: Bina Ilmu, 1995, hlm. 64-66.
[36] Al-Khulasatul Wafiyah karya Zubaer Umar al-Jailany dengan markaz Mesir, al-Hamihijul Hamidiyah karya Abdul Hamid Mursy dengan markaz Mesir, dan masih banyak  lagi, Ibid., hlm.  67-68.
[37] Sebagaimana komentar Slamet Hambali dalam menanggapi perKembangan  hasanah kitab  hisab di  Indonesia, seperti  kitab karya  Noor Ahmad SS (yakni Syamsul Hilal dan  Nurul Anwar) yang  merupakan  cangkokan  dari kitab al-Khulashatul Wafiyah.
[38] Pemilahan tersebut muncul dalam forum  Seminar Sehari Ilmu Falak tanggal 27 April  1992 di Tugu Bogor yang diselenggarakan oleh Departemen Agama., Sriyatin  Sadik, Op.cit., hlm.  68.
[39] Sebagaimana  asumsi-asumsi pengikut setia kitab Sullamun Nayyirain. Padahal dalam pelacakan teori yang digunakan adalah menggunakan  teori   geosentris  oleh  Ptolomeus yang telah ditumbangkan oleh teori  Heliosentris yang ditemukan  oleh   Copernicus. Asumsi   tersebut  diikuti oleh Lajnah Falakiyyah Pondok Pesantren Al-Falah Ploso Mojo Kediri, dimana  penulis sendiri  pernah  menyelami pendidikan hisab Sulamun Nayyiraini dan seperti sebagian besar umat Islam di Jakarta Timur dan Selatan, khususnya daerah  pondok al-Mansyuriyyah.
[40] Harun  Nasution, EnsiklOpedi Islam Indonesia, Jakarta: Djambatan, Cet. Ke-1, 1992, hlm.  211.
[41] Dimana hampir setiap organisasi masyarakat termasuk Nahdlatul Ulama dan  Muhammadiyyah  selalu juga mengeluarkan “Ketetapannya” walaupun dalam Kemasan  bahasa yang lain seperti fatwa dan ikhbar. Baca Susiknan Azhari, Saaduddin Djambek (1911-1977) Dalam  Sejarah Pemikiran  Hisab di Indonesia, Yogyakarta: IAIN Yogyakarta, 1999, hlm. 15. 
[42] Ichtujanto, Op. cit., hlm. 23.
[43] Hamdany Ali, Himpunan Keputusan Menteri Agama, Jakarta: Lembaga  Lektur Keagamaan, Cet. Ke-1, 1972, hlm. 241.
[44] Namun dalam dataran  praktis realistis, ternyata pembentukan Badan  Hisab Rukyah sangat  tergantung pada kebijakan daerah dalam hal ini propinsi terkait. Sebagaimana pengalaman pribadi penulis ketika bersama-sama Pengadilan Tinggi Agama Jawa Tengah (Drs. Imron SH, sekarang hakim  tinggi di  PTA  Jawa Timur) sangat tergantung pada gubernur Jawa Tengah pada waktu itu (Soewardi).
[45] Sebagai contoh Hari Raya 1405 bertepatan tahun 1985, sebagian kaum muslimin berhari raya pada hari Rabu 19 Juni 1985 dan ada yang berhari raya Kamis, 20 Juni 1985 dan masih banyak lagi  kasus-kasus perbedaan semacam itu. Baca Nourouzzaman Shidiqi, Fiqh Indonesia Penggagas dan Gagasannya, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet. Ke-1, 1997, hlm. 201.
[46] Wahyu Widiana menyampaikan hal tersebut Ketika menjadi Key Note Speech dalam acara Work Shop Nasional "Mengkaji Ulang Metode Penetapan Awal Waktu Shalat" yang diselenggarakan  UII Yogyakarta, 7 April 2001. Dan bandingkan pernyatakan Syukri Ghozali: “Mengharap Kepada Badan Ilmu Falak Departemen Agama agar memperhatikan mesyarakat Islam Indonesia. Bila masyarakat dipaksa menganut suatu pendapat sebelum ada  titik temu dari berbagai pendapat, maka usaha untuk mempersatukan pendapat akan mengalami Kegagaalan”. A Wasit Aulawi, Laporan  Musyawarah  Nasional Hisab dan Rukyah 1977, Jakarta: Ditbinpera, 1977, hlm. 4. 
[47] Dimana pada masa Dirjen Depag RI, Andi Rosydianah, Kebijakan-Kebijakan sangat menghambat perKembangan fiqh ilmu falak, misalnya diKeluarkannya mata kuliah ilmu falak dari  kurikulum nasional, baca Susiknan Azhari, Revitalisasi Studi Ilmu Falak di Indonesia, dalam al-Jami’ah, Pasca IAIN Yogyakarta, No. 65/VI/2000, hlm. 108. Bandingkan pula Azyumardi Azra,  Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, Cet. Ke-1, 1999, hlm. 203, dan bandingkan juga Depag RI, Himpunan Keputusan Musayawarah Hisab  Rukyah dari berbagai Sistem Tahun 1990-1997, Jakarta: Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam, Cet. Ke-1, 1999-2000, hlm. 97.
[48] Lihat Bambang Hidayat, Under a Tropical Sky: A History of Astronomy in Indonesia, dalam Journal Of Astronomical History And Heritage, June 2000, hlm. 45-58.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar