Minggu, 16 September 2012

SEKILAS TENTANG سلم النيرين


SEKILAS TENTANG سلم النيرين



1.      Asal Mula Pemikiran Sullamun Nayyiroin
Sullamun Nayyiroin menggunakan sistem/ teori hasil pengamatan yang dilakukan oleh Muhammad Targai Ulugh-Begh (1393-1449M), seorang Muslim yang nenek moyangnya berasal dari daratan Cina, dia adalah seorang pangeran Tartar yang merupakan cucu dari Timur Lenk. Selaku seorang bangsawan, Ulugh Begh diberi kekuasaan sebagai raja muda di Turkestan. Jabatannya ini memungkin dia mendirikan observatorium, madrasah serta lembaga-lembaga pendidikan di Samarkand. Observatorium yang dibangunnya merupakan obsevartorium yang tidak ada tandingannya, baik dari segi kecanggihannya maupun dari segi ukurannya. Ulugh-Begh adalah seorang astronom yang pandai dan mengepalai penyelidikan-penyelidikan yang menelan biaya yang tidak sedikit. Pada tahun 1437 M, Ia telah berhasil membuat sebuah Zij berdasarkan observasi yang dilakukannya. Pengertian dari Zij itu sendiri adalah tabel keangkaan yang diterapkan kepada planet-planet untuk mengetahui ciri masing-masing, baik jalan gerakannya, kecepatan, kelambatan, kediaman dan geraknya kembali. Ia menamakannya Zij Ulugh-Begh. Tabel-tabel tersebut masih menggunakan model angka Jumali yang merupakan model angka yang biasa digunakan oleh para ulama hisab tempo dulu untuk menyajikan data astronomis benda-benda langit. Angka ini menggunakan huruf-huruf arab, yaitu:

Gambar 1. Model Angka Jumali
Sullamun Nayyiroin adalah sebuah buku karangan Haji Muhammad Mansur Al-Batawie berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Ulugh-Begh tersebut, yang sebelumnya telah ditalhis (dijelaskan) oleh orang tuanya sendiri yang bernama Abdul Hamid Bin Muhammad Damiri Al-Batawie dengan taqrir/ ketetapan dari Syeikh Abdurrahman bin Ahmad Al-Mishrie.

  1. Riwayat Hidup Muhammad Mansyur al-Batawie

Muhammad Mansur Al Batawie yang biasa disebut Guru Mansur dilahirkan di Kampung Sawah, Jembatan Lima, Jakarta tahun 1295 Hijriah/ 1878 Masehi. Beliau wafat pada tahun 1967 Masehi. Ayahnya bernama Kyai Haji Abdul Hamid bin Muhammad Damiri. Pada zaman Haji Hamid ini banyak pemuda-pemudi betawi yang belajar masalah-masalah agama kepadanya, termasuk Guru Mansur yang banyak belajar dan dididik langsung oleh ayahnya.
Sejak kecil Guru Mansur sudah mulai tertarik dengan ilmu hisab atau ilmu falak, disamping ilmu-ilmu agama lainnya. Sesudah ayahnya meninggal, Guru Mansur belajar dari kakak kandungnya Kyai Haji Mahbub dan kakak misannya Kyai Haji Tabrani. Guru Mansur juga pernah belajar kepada seseorang ulama dari Mester Cornelis bernama Haji Mujtaba bin Ahmad sebelum pergi ke Mekah pada usia 16 tahun dan belajar di sana selama empat tahun. Selama di Mekah ia berguru kepada sejumlah ulama, antara lain:
  • Syekh Mukhtar Atharid Al Bogori
  • Syekh Umar Bajunaid Al Hadrami
  • Syekh Ali Al Maliki
  • Syekh Said Al Yamani
  • Syekh Umar Sumbawa, dll.
Setibanya di kampung halaman, ia mulai membantu ayahnya mengajar di rumah. Bahkan ia sudah ditunjuk seabagai pengganti sewaktu-waktu ayahnya berhalangan. Selain mengajar di tempatnya, beliau juga mengajar di Madrasah Jam’iyyah Khoir, Pekojan pada tahun 1907 Masehi. Kemudian diangkat menjadi penasehat syar’i dalam organisasi Ijtimak-UI Khoiriyah. Pada tahun 1915, Guru Mansur diangkat menjadi penghulu daerah Penjaringan-Betawi dan pernah juga menjabat sebagai Rois Nahdatul Ulama cabang Betawi ketika zamannya Kyai Haji Hasyim Asy’ari.
Cita-cita dan pengalaman Guru Mansur dalam mengamalkan ajaran-ajaran agama islam telah dibuktikannya dengan jalan berdakwah, mendidik, dan membina pemuda-pemudi harapan bangsa dan agama. Sebagai sasaran penunjang cita-cita tersebut, beliau mendirikan sekolah, madrasah, dan pesantren, serta majlis taklim.
Menurut informasi dari Kyai Haji Fatahillah (cucu Guru Mansur), tak ada ulama lain pada masanya yang menguasai ilmu falak selain Guru Mansur. Di samping berdakwah dengan lisan, beliau juga berdakwah dengan tulisan. Beberapa hasil karya tulisnya berkaitan dengan ilmu falak (astronomi islam) antara lain:
  • Sullamun Nayyiroin
  • Khulasatul Jawadil
  • Kaifiyatul Amal Ijtimak, Khusuf, wal Kusuf
  • Mizanul I’tidal
  • Jadwal Dawaa’irul Falakiyah
  • Majmu’ Arba’ Rasa’il Fii Mas’alatil Hilal
  • Rub’ul Mujayyab
  • Mukhtashor Ijtima'un Nayyiroin




  1. Sullamun Nayyirain Bermarkaz di Jakarta
Secara istilah dijelaskan (Khazin:2005), bahwa pengertian Markaz adalah suatu tempat/ lokasi yang dijadikan pedoman dalam perhitungan. Dalam (Mansur:1925) dijelaskan bahwa data-data yang digunakan pada perhitungan awal bulan hijriyah tersebut memakai markaz Jakarta dengan data geografis 5o 19’ 12” - 6o 23’ 54” LS dan 106o 22’ 42” - 106o 58’ 18” BT. Dalam pengukuran waktu dunia, Sullamun Nayyiroin mengacu pada tempat yang bernama Jaza’irul Kholidat/ Kanarichi, suatu tempat di tengah lautan atlantik yang dijadikan titik 0 derajat dalam pengukuran bujur bumi tempo dulu. Ia berposisi pada 35o 11’ sebelah barat Greenwich. Dalam (Mansur:1925) dijelaskan pula bahwa antara Kanarichi dan Jakarta mempunyai selisih waktu 142o (1o= 4 menit). Jadi, total selisih waktu keduanya adalah 9 jam 28 menit. Untuk perumpamaan, ketika di Jakarta hari rabu pukul 16.00 WIB, maka di Kanarichi hari rabu pukul 06.22 waktu Kanarichi.







 












Muhammad Targai Ulugh-Begh                                 Syekh Muhammad Mansur

Tidak ada komentar:

Posting Komentar