FATWA
MAJELIS ULAMA INDONESIA
Nomor: 11 Tahun 2012
Tentang
KEDUDUKAN ANAK HASIL ZINA DAN PERLAKUAN TERHADAPNYA
Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia
(MUI), setelah :
MENIMBANG :
a.
bahwa
dalam Islam, anak terlahir dalam kondisi suci dan tidak membawa dosa turunan,
sekalipun ia terlahir sebagai hasil zina;
b.
bahwa
dalam realitas di masyarakat, anak hasil zina seringkali terlantar karena
laki-laki yang menyebabkan kelahirannya tidak bertanggung jawab untuk memenuhi
kebutuhan dasarnya, serta seringkali anak dianggap sebagai anak haram dan
terdiskriminasi karena dalam akte kelahiran hanya dinisbatkan kepada ibu.
c.
bahwa
terhadap masalah tersebut, Mahkamah Konsitusi dengan pertimbangan memberikan
perlindungan kepada anak dan memberikan hukuman atas laki-laki yang menyebabkan
kelahirannya untuk bertanggung jawab, menetapkan putusan MK Nomor
46/PUU-VIII/2010 yang pada intinya mengatur kedudukan anak yang dilahirkan di
luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya
serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu
pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai
hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya.
d.
bahwa
terhadap putusan tersebut, muncul pertanyaan dari masyarakat mengenai kedudukan
anak hasil zina, terutama terkait dengan hubungan nasab, waris, dan wali nikah
dari anak hasil zina dengan laki-laki yang menyebabkan kelahirannya menurut
hukum Islam.
e.
bahwa
oleh karena itu dipandang perlu menetapkan fatwa tentang kedudukan anak hasil
zina dan perlakuan terhadapnya guna dijadikan pedoman.
MENGINGAT
:
1.
Firman
Allah SWT
a.
Firman
Allah yang mengatur nasab, antara lain :
“Dan Dia (pula) yang menciptakan manusia dari air lalu dia
jadikan manusia itu (punya) keturunan dan mushaharah dan adalah Tuhanmu Maha Kuasa.
(QS. Al-Furqan : 54).
b.
Firman
Allah yang melarang perbuatan zina dan seluruh hal yang mendekatkan ke zina,
antara lain:
“Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu
adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk “ (QS. Al-Isra :
32).
“Dan orang-orang yang tidak menyembah tuhan yang lain
beserta Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya)
kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina, barang siapa yang
melakukan yang demikian itu, niscaya dia mendapat (pembalasan) dosanya, yakni
akan dilipat gandakan azab untuknya pada hari kiamat dan dia akan kekal dalam
azab itu, dalam keadaan terhina” (QS. Al-Furqan: 68 – 69)
c.
Firman
Allah yang menjelaskan tentang pentingnya kejelasan nasab dan asal usul
kekerabatan, antara lain:
“Dan Dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak
kandungmu (sendiri). Yang demikian itu hanyalah perkataanmu dimulutmu saja. Dan
Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan (yang benar).
Panggilah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai)
nama bapak-bapak mereka; itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu
tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka (panggilah mereka sebagai)
saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu. (QS. Al-Ahzab: 4 – 5).
“…. (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu)
“ (QS. Al-Nisa: 23).
d.
Firman
Allah yang menegaskan bahwa seseorang itu tidak memikul dosa orang lain,
demikian juga anak hasil zina tidak memikul dosa pezina, sebagaimana
firman-Nya:
Dan tidaklah seorang membuat dosa melainkan kemudharatannya
kembali kepada dirinya sendiri; dan seorang yang berdosa tidak akan memikul
dosa orang lain526. Kemudian kepada Tuhanmulah kamu kembali, dan akan
diberitakan-Nya kepadamu apa yang kamu perselisihkan. (QS. Al-An’am : 164)
“Dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang
lain. Kemudian kepada Tuhanmulah kembalimu lalu Dia memberitakan kepadamu apa
yang telah kamu kerjakan. Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui apa yang tersimpan
dalam (dada)mu. (QS. Al-Zumar: 7)
2.
Hadis
Rasulullah SAW, antara lain:
a.
hadis
yang menerangkan bahwa anak itu dinasabkan kepada pemilik kasur/suami dari
perempuan yang melahirkan (firasy), sementara pezina harus diberi hukuman,
antara lain:
Dari ‘Aisyah ra bahwasanya ia berkata: Sa’d ibn Abi Waqqash
dan Abd ibn Zam’ah berebut terhadap seorang anak lantas Sa’d berkata: Wahai
Rasulallah, anak ini adalah anak saudara saya ‘Utbah ibn Abi Waqqash dia
sampaikan ke saya bahwasanya ia adalah anaknya, lihatlah kemiripannya. ‘Abd ibn
Zum’ah juga berkata: “Anak ini saudaraku wahai Rasulullah, ia terlahir dari
pemilik kasur (firasy) ayahku dari ibunya. Lantas Rasulullah saw melihat rupa
anak tersebut dan beliau melihat keserupaan yang jelas dengan ‘Utbah, lalu
Rasul bersabda: “Anak ini saudaramu wahai ‘Abd ibn Zum’ah. Anak itu adalah bagi
pemilik kasur/suami dari perempuan yang melahirkan (firasy) dan bagi pezina
adalah (dihukum) batu, dan berhijablah darinya wahai Saudah Binti Zam’ah.
Aisyah berkata: ia tidak pernah melihat Saudah sama sekali. (HR. Al-Bukhari dan
Muslim)
“Dari ‘Amr ibn Syu’aib ra dari ayahnya dari kakeknya ia
berkata: seseorang berkata: Ya rasulallah, sesungguhnya si fulan itu anak saya,
saya menzinai ibunya ketika masih masa jahiliyyah, rasulullah saw pun bersabda:
“tidak ada pengakuan anak dalam Islam, telah lewat urusan di masa jahiliyyah.
Anak itu adalah bagi pemilik kasur/suami dari perempuan yang melahirkan
(firasy) dan bagi pezina adalah batu (dihukum)” (HR. Abu Dawud)
b.
hadis
yang menerangkan bahwa anak hazil zina dinasabkan kepada ibunya, antara lain:
Nabi
saw bersabda tentang anak hasil zina: “Bagi keluarga ibunya …” (HR. Abu Dawud)
c.
hadis
yang menerangkan tidak adanya hubungan kewarisan antara anak hasil zina dengan
lelaki yang mengakibatkan kelahirannya, antara lain:
“Dari ‘Amr ibn Syu’aib ra dari ayahnya dari kakeknya bahwa
rasulullah saw bersabda: Setiap orang yang menzinai perempuan baik merdeka
maupun budak, maka anaknya adalah anak hasil zina, tidak mewarisi dan tidak
mewariskan“. (HR. Al-Turmudzi)
d.
hadis
yang menerangkan larangan berzina, antara lain:
Dari Abi Marzuq ra ia berkata: Kami bersama Ruwaifi’ ibn
Tsabit berperang di Jarbah, sebuah desa di daerah Maghrib, lantas ia berpidato:
“Wahai manusia, saya sampaikan apa yang saya dengar dari rasulullah saw pada
saat perang Hunain seraya berliau bersabda: “Tidak halal bagi seseorang yang
beriman kepada Allah dan rasul-Nya menyirampan air (mani)nya ke tanaman orang
lain (berzina)’ (HR Ahmad dan Abu Dawud)
e.
hadis
yang menerangkan bahwa anak terlahir di dunia itu dalam keadaan fitrah, tanpa
dosa, antara lain:
Dari
Abi Hurairah ra ia berkata: Nabi saw bersabda: “Setiap anak terlahir dalam
kondisi fitrah, kedua orang tuanyalah yang menjadikannya seorang yahudi,
nasrani, atau majusi. (HR al-Bukhari dan Muslim).
3.
Ijma’
Ulama, sebagaimana disampaikan oleh Imam Ibn Abdil Barr dalam “al-Tamhid”
(8/183) apabila ada seseorang berzina dengan perempuan yang memiliki suami,
kemudian melahirkan anak, maka anak tidak dinasabkan kepada lelaki yang
menzinainya, melainkan kepada suami dari ibunya tersebut, dengan ketentuan ia
tidak menafikan anak tersebut.
Umat telah ijma’ (bersepakat) tentang hal itu dengan dasar
hadis nabi saw, dan rasul saw menetapkan setiap anak yang terlahir dari ibu,
dan ada suaminya, dinasabkan kepada ayahnya (suami ibunya), kecuali ia
menafikan anak tersebut dengan li’an, maka hukumnya hukum li’an. Juga
disampaikan oleh Imam Ibnu Qudamah dalam Kitab al-Mughni (9/123) sebagai
berikut:
Para
Ulama bersepakat (ijma’) atas anak yang lahir dari ibu, dan ada suaminya,
kemudian orang lain mengaku (menjadi ayahnya), maka tidak dinasabkan kepadanya.
- Atsar Shahabat, Khalifah ‘Umar ibn al-Khattab ra
berwasiat untuk senantiasa memperlakukan anak hasil zina dengan baik,
sebagaimana ditulis oleh Imam al-Shan’ani dalam “al-Mushannaf” Bab ‘Itq
walad al-zina” hadits nomor 13871.
- Qaidah Sadd al-Dzari’ah, dengan menutup peluang sekecil
apapun terjadinya zina serta akibat hukumnya.
- Qaidah
ushuliyyah :
“Pada dasarnya, di dalam larangan tentang sesuatu menuntut adanya rusaknya
perbuatan yang terlarang tersebut”
“Tidak ada
ijtihad di hadapan nash”.
- Qaidah
fiqhiyyah :
“ Hukum
sarana adalah mengikuti hukum capaian yang akan dituju “
“Segala
mudharat (bahaya) harus dihindarkan sedapat mungkin”.
“Bahaya
itu tidak boleh dihilangkan dengan mendatangkan bahaya yang lain.”
“Menghindarkan
mafsadat didahulukan atas mendatangkan maslahat.
“Dharar
yang bersifat khusus harus ditanggung untuk menghindarkan dharar yang bersifat
umum (lebih luas).”
“Apabila
terdapat dua kerusakan atau bahaya yang saling bertentangan, maka kerusakan
atau bahaya yang lebih besar dihindari dengan jalan melakukan perbuatan yang
resiko bahayanya lebih kecil.”
“Kebijakan
imam (pemerintah) terhadap rakyatnya didasarkan pada kemaslahatan.”
MEMPERHATIKAN
:
1.
Pendapat
Jumhur Madzhab Fikih Hanafiyyah, Malikiyyah, Syafi’iyyah, dan Hanabilah yang
menyatakan bahwa prinsip penetapan nasab adalah karena adanya hubungan
pernikahan yang sah. Selain karena pernikahan yang sah, maka tidak ada akibat
hukum hubungan nasab, dan dengan demikian anak zina dinasabkan kepada ibunya,
tidak dinasabkan pada lelaki yang menzinai, sebagaimana termaktub dalam
beberapa kutipan berikut:
- Ibn
Hajar al-‘Asqalani:
Diriwayatkan
dari Imam Syafe’i dua pengertian tentang makna dari hadist “ Anak itu menjadi
hak pemillik kasur/suami “ .
Ø
Pertama
: Anak menjadi hak pemilik kasur/suami selama ia tidak
menafikan/mengingkarinya. Apabila pemilik kasur/suami menafikan anak tersebut
(tidak mengakuinya) dengan prosedur yang diakui keabsahannya dalam syariah,
seperti melakukan Li’an, maka anak tersebut dinyatakan bukan sebagai anaknya.
Ø
Kedua
: Apabila bersengketa (terkait kepemilikan anak) antara pemilik kasur/suami
dengan laki-laki yang menzinai istri/budak wanitanya, maka anak tersebut
menjadi hak pemilik kasur/suami.
Adapun
maksud dari “ Bagi Pezina adalah Batu “ bahwa laki-laki pezina itu
keterhalangan dan keputus-asaan. Maksud dari kata Al-‘AHAR dengan menggunakan
dua fathah (pada huruf ‘ain dan ha’) adalah zina. Ada yang berpendapat bahwa
kata tersebut digunakan untuk perzinaan yang dilakukan pada malam hari.
Oleh
karenanya, makna dari keptus-asaan disini adalah bahwa laki-laki pezina
tersebut tidak mendapatkan hak nasab atas anak yang dilahirkan dari
perzinaannya. Pemilihan kata keputus-asaan di sini sesuai dengan tradisi bangsa
arab yang menyatakan “Baginya ada batu” atau : Di mulutnya ada batu” buat orang
yang telah berputus asa dari harapan.
Ada
yang berpendapat bahwa pengertian dari batu di sini adalah hukuman rajam. Imam
Nawawi menyatakan bahwa pendapat tersebut adalah lemah, karena hukuman rajam
hanya diperuntukkan buat pezina yang mukhsan (sudah menikah). Di sisi yang
lain, hadist ini tidak dimaksudkan untuk menjelaskan hokum rajam, tapi
dimaksudkan untuk sekedar menafikan hak anak atas pezina tersebut. Oleh karena
itu Imam Subki menyatakan bahwa pendapat yang pertama itu lebih sesuai dengan
redaksi hadist tersebut, karena dapat menyatakan secara umum bahwa
keputus-asaan (dari mendapatkan hak anak) mencakup seluruh kelompok pezina (mukhsan
atau bukan mukhsan).
- Pendapat Imam al-Sayyid al-Bakry dalam kitab “I’anatu
al-Thalibin” juz 2 halaman 128 sebagai berikut: Anak zina itu tidak
dinasabkan kepada ayah, ia hanya dinasabkan kepada ibunya.
- Pendapat
Imam Ibn Hazm dalam Kitab al-Muhalla juz 10 halaman 323 sebagai berikut :
Anak itu dinasabkan kepada ibunya jika ibunya berzina dan
kemudian mengandungnya, dan tidak dinasabkan kepada lelaki.
- Pendapat
Imam Ibnu Nujaim dalam kitab “al-Bahr al-Raiq Syarh Kanz ad-Daqaiq”:
Anak hasil zina atau li’an hanya mendapatkan hak waris dari
pihak ibu saja, karena nasabnya dari pihak bapak telah terputus, maka ia tidak
mendapatkan hak waris dari pihak bapak, sementara kejelasan nasabnya hanya
melalui pihak ibu, maka ia memiliki hak waris dari pihak ibu, saudara perempuan
seibu dengan fardh saja (bagian tertentu), demikian pula dengan ibu dan saudara
perempuannya yang seibu, ia mendapatkan bagian fardh (tertentu), tidak dengan
jalan lain.
- Pendapat Imam Ibn ‘Abidin dalam Kitab “Radd al-Muhtar
‘ala al-Durr al-Mukhtar” (Hasyiyah Ibn ‘Abidin) sebagai berikut :
Anak
hasil zina atau li’an hanya mendapatkan hak waris dari pihak ibu saja,
sebagaimana telah kami jelaskan di bab yang menjelaskan tentang Ashabah, karena
anak hasil zina tidaklah memiliki bapak.
- Pendapat
Ibnu Taymiyah dalam kitab “al-Fatawa al-Kubra” :
Para ulama
berbeda pendapat terkait istilkhaq (penisbatan) anak hasil zina apabila si
wanita tidak memiki pemilik kasur/suami atau sayyid (bagi budak wanita).
Diriwatkan dalam hadist bahwa Rasulullah SAW menisbatkan anak budak wanita
Zam’ah ibn Aswad kepadanya (Zam’ah), padahal yang menghamili budak wanita
tersebut adalah Uthbah ibn Abi Waqqosh.
Sementara
itu, Sa’ad menyatakan : anak dari budak wanita tersebut adalah anak saudaraku
(Uthbah), dan aku (kata sa’ad) ditugaskan untuk merawatnya seperti anakku
sendiri”. Abd ibn Zam’ah membantah dengan berkata : “anak itu adalah saudaraku
dan anak dari budak wanita ayahku, ia dilahirkan di atas ranjang ayahku”.
Rasulullah SAW bersabda: “anak itu menjadi milikmu wahai Abd ibn Zam’ah, anak
itu menjadi hak pemilik kasur dan bagi pezina adalah batu”, kemudian Rasulullah
bersabda : “Berhijablah engkau wahai Saudah (Saudah binti Zam’ah – Istri
Rasulullah SAW)”, karena beliau melihat kemiripan anak tersebut dengan Utbah,
maka beliau menjadikan anak tersebut saudara Saudah binti Zam’ah dalam hal hak
waris, dan tidak menjadikannya sebagai mahram.
- Pendapat Dr. Wahbah al-Zuhaili dengan judul “Ahkam
al-Aulad al-Natijin ‘an al-Zina” yang disampaikan pada Daurah ke-20 Majma’
Fiqh Islami di Makkah pada 25 – 29 Desember 2010 yang pada intinya
menerangkan bahwa, jika ada seseorang laki-laki berzina dengan perempuan
yang memiliki suami dan kemudian melahirkan anak, terdapat ijma ulama,
sebagaimana disampaikan oleh Imam Ibn Abdil Barr dalam “al-Tamhid” (8/183)
yang menegaskan bahwa anak tersebut tidak dinasabkan kepada lelaki yang
menzinainya, melainkan kepada suami dari ibunya tersebut, dengan ketentuan
ia tidak menafikan anak tersebut melalui li’an. Sementara, jika ia berzina
dengan perempuan yang tidak sedang terikat pernikahan dan melahirkan
seorang anak, maka menurut jumhur ulama madzhab delapan, anak tersebut
hanya dinasabkan ke ibunya sekalipun ada pengakuan dari laki-laki yang
menzinainya. Hal ini karena penasaban anak kepada lelaki yang pezina akan
mendorong terbukanya pintu zina, padahal kita diperintahkan untuk menutup
pintu yang mengantarkan pada keharaman (sadd al-dzari’ah) dalam rangka
menjaga kesucian nasab dari perlikau munkarat.
- Pendapat, saran, dan masukan yang berkembang dalam
Sidang Komisi Fatwa pada Rapat-Rapat Komisi Fatwa pada tanggal 3, 8, dan
10 Maret 2011.
Dengan bertawakkal kepada Allah SWT
MEMUTUSKAN
MENETAPKAN :
FATWA TENTANG ANAK HASIL ZINA DAN PERLAKUAN TERHADAPNYA
Ø Pertama : Ketentuan Umum
Di dalam fatwa ini yang dimaksud
dengan :
- Anak hasil zina adalah anak yang lahir sebagai akibat
dari hubungan badan di luar pernikahan yang sah menurut ketentuan agama,
dan merupakan jarimah (tindak pidana kejahatan).
- Hadd adalah jenis hukuman atas tindak pidana yang
bentuk dan kadarnya telah ditetapkan oleh nash.
- Ta’zir adalah jenis hukuman atas tindak pidana yang
bentuk dan kadarnya diserahkan kepada ulil amri (pihak yang berwenang
menetapkan hukuman).
- Wasiat wajibah adalah kebijakan ulil amri (penguasa)
yang mengharuskan laki-laki yang mengakibatkan lahirnya anak zina untuk
berwasiat memberikan harta kepada anak hasil zina sepeninggalnya.
Ø
Kedua
: Ketentuan Hukum
- Anak hasil zina tidak mempunyai hubungan nasab, wali
nikah, waris, dan nafaqah dengan lelaki yang menyebabkan kelahirannya.
- Anak hasil zina hanya mempunyai hubungan nasab, waris,
dan nafaqah dengan ibunya dan keluarga ibunya.
- Anak hasil zina tidak menanggung dosa perzinaan yang
dilakukan oleh orang yang mengakibatkan kelahirannya.
- Pezina dikenakan hukuman hadd oleh pihak yang
berwenang, untuk kepentingan menjaga keturunan yang sah (hifzh al-nasl).
- Pemerintah berwenang menjatuhkan hukuman ta’zir lelaki
pezina yang mengakibatkan lahirnya anak dengan mewajibkannya untuk :
a.
mencukupi
kebutuhan hidup anak tersebut;
b.
memberikan
harta setelah ia meninggal melalui wasiat wajibah.
- Hukuman sebagaimana dimaksud nomor 5 bertujuan
melindungi anak, bukan untuk mensahkan hubungan nasab antara anak tersebut
dengan lelaki yang mengakibatkan kelahirannya.
Ø Ketiga : Rekomendasi
- DPR-RI
dan Pemerintah diminta untuk segera menyusun peraturan perundang-undangan
yang mengatur:
a.
hukuman
berat terhadap pelaku perzinaan yang dapat berfungsi sebagai zawajir dan
mawani’ (membuat pelaku menjadi jera dan orang yang belum melakukan menjadi
takut untuk melakukannya);
b.
memasukkan
zina sebagai delik umum, bukan delik aduan karena zina merupakan kejahatan yang
menodai martabat luhur manusia.
- Pemerintah wajib mencegah terjadinya perzinaan disertai
dengan penegakan hukum yang keras dan tegas.
- Pemerintah wajib melindungi anak hasil zina dan mencegah
terjadinya penelantaran, terutama dengan memberikan hukuman kepada
laki-laki yang menyebabkan kelahirannya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
- Pemerintah diminta untuk memberikan kemudahan layanan
akte kelahiran kepada anak hasil zina, tetapi tidak menasabkannya kepada
lelaki yang menngakibatkan kelahirannya.
- Pemerintah wajib mengedukasi masyarakat untuk tidak
mendiskriminasi anak hasil zina dengan memperlakukannya sebagaimana anak
yang lain.
Penetapan
nasab anak hasil zina kepada ibu dimaksudkan untuk melindungi nasab anak dan
ketentuan keagamaan lain yang terkait, bukan sebagai bentuk diskriminasi.
Ø Keempat : Ketentuan Penutup
- Fatwa ini berlaku pada tanggal ditetapkan, dengan
ketentuan jika di ke mudian hari ternyata dibutuhkan perbaikan, akan diperbaiki
dan disempurnakan sebagaimana mestinya.
- Agar setiap muslim dan pihak-pihak yang memerlukan
dapat mengetahuinya, menghimbau semua pihak untuk menyebarluaskan fatwa
ini.
Ditetapkan
di : Jakarta
Pada tanggal : 18 Rabi’ul Akhir 1433 H
10 M a r e t 2012M
MAJELIS
ULAMA INDONESIA
KOMISI FATWA
Ketua
Sekretaris
PROF. DR. H. HASANUDDIN AF, MA DR. HM. ASRORUN NI’AM SHOLEH, MA